REFLEKSI
MATOWA
WAJO
DALAM PUSARAN PENGUSAHA DAN PENGUASA DI TANA
BUGIS
Oleh
: H. A. Ahmad saransi
Pada tanggal 27 Pebruari
2021 dini hari masyarakat Sulawesi Sulawesi dikejutkan oleh aksi KPK menangkap
seorang pengusaha dan sekretaris Dinas PU hingga merembes “penjemputan” Prof.
Nurdin Abdullah Gubernur Sulawesi Selatan. Terkait dengan peristiwa itu, seorang teman bertanya sama saya, “sejak kapan
pengusaha berlselingkuh dengan penguasa?”. Dari pertanyaan itu menginspirasi
untuk menulis dan sekaligus menjawab pertanyaan itu.
Matowa adalah sebuah jabatan non struktural dalam imporium dagang orang Bugis Wajo yang dibentuk pada abad ke 17. Dalam perjalananannya silih berganti menjadi Matowa dalam imperium dagang ini dan bebragai pelajaran dan kearifan yang dapat dipetik dalam perjalanan sejarahnya itu.
Ketika Matowa Wajo ke 3
Amanna Moming wafat pada tahun 1732 maka jabatannya dialihkan ke To Dawe sebagai
Matowa Wajo ke 4. Saat itu suasana politik sedikit keruh di Sulawesi Selatan,
perang antara kerajaan Wajo dan Kerajaan Bone berkecamuk. To Dawe dalam politik
praktis, Ia terjun ke medan perang bersama Arung Singkang.
Kecurigaan orang Wajo akan
keterlibatan Matowa Wajo dalam hal politik dan kekuasaan muncul ketika ia
membangun baruga. Bukankah dengan mambangun baruga satu pertanda bahwa Matowa
mulai terjun kedunia politik dan kekuasaan? Karena baruga adalah symbol bagi
sistem kekuasaan tradisional Bugis dimana berbagai seremonial dan acara saoraja (istana) yang penting dilansungkan.
Pada saat itu 1732-1736
Arung Singkang terlibat dalam kanca peperangan, Matowa To Dawe tidak hanya
menggunakan dana saudagar dalam membiayai perang dan politik tetapi juga secara
fisik terlibat. Ia pun terjun kekanca peperangan dan gugur di medan perang.
Akibat keterlibatannya dalam politik praktis dan keuasaan, penguasa di Makassar
dan Raja Bone Batari Toja membekukan aktivitas dan eksistensi Matowa di Kampung
Wajo.
To Dawelah Matowa Wajo
pertama yang melibatkan diri dalam politik praktis dan tewas dalam perang.
Kasus To Dawe adalah pelajaran sejarah dan teramat berharga bagi pengusaha
Bugis Makassar dikemudian hari (mungkin hari ini). Karena keterlibatan seorang
pengusaha dalam politik praktis mungkin saja secara fisik tidak gugur seperti
To Dawe tetapi harga diri dan nilai kewirausahawan sejatilah yang telah gugur.
Jika seoarang pengusaha telah gugur harga dirinya, mungkin ia masih dihormati
oleh orang sekitarnya karena ia memiliki banyak uang dan mampu membayar
orang-orang untuk menghormatinya, ia mungkin tetap dipuji sebagai dermawan,
karena ia mampu menghamburkan uang untuk menciptakan predikat kedermawan bagi
dirinya, tetapi sesungguhnya masyarakat tahu bagaimana tingkat kadar kedermawan
seorang pengusaha sejati. Seorang pengusaha sejati memperoleh harta dengan
bersih dari sebuah reso (kerja keras)
dari spekulasi yang logis. Tetapi apakah masih ada pengusaha seperti itu
dizaman seperti ini, dimana pengusaha
dan penguasa semakin sulit dibedakan
terutama antara keduanya sudah berselingkuh dan saling membeli antara satu
dengan yang lainnya.
Sepuluh tahun lamanya
selepas masa kepemimpinan Matowa To Dawe, barulah pada tahun 1745 raja Bone
menganjurkan kepada para pengusaha agar kembali merenungkan adat dan tradisi
perdagangan yang sudah mapan dan menjadi adat kebiasaan para pengusaha Bugis dahulu. Atas
anjuran itu bersepakatlah para pengusaha Wajo untuk mengangkat kembali seorang
Matowa dengan mengangkat To Patte sebagai Matowa ke 7. Dialah matowa yang
mengadakan hubungan baik raja Bone Batari Toja. Karena pengangkatannya selaku
Matowa atas rekomendasi Batari Toja, dialah Matowa Pertama yang diangkat
melalui kespakatan setengah hati para pengusaha. Kasus rekomendasi dari atas sangat
penting artinya dari sipemberi rekomendasi, karena dengan memegang Matowa
berarti sang pejabat pemberi disposisi mudah memperoleh dana yang ada ditangan
pengusaha. Atas pengakuan persahabatan antara Matowa dan Raja Bone, Matowa
memperoleh sebuah cap dari Raja Bone sebagai symbol persahabatan. Dalam
perjalanan kariernya selaku Matowa ia hanya menduduki 7 tahun dan beliau meninggal dunia.
Pada tahun 1757 lima tahun
setelah wafatnya To Patte barulah orang Wajo menemukan pengusaha sejati dari
limpo Menge dan mengangkatnya selaku Matowa, La Nongko namanya, orang-orang
Wajo membawanya ke kampung Wajo di Makassar. Setelah itu para pengusaha Wajo
kembali lagi bergairah dan pasar menjadi ramai, dan dinamika perekomomian
kembali berdenyut. Tetapi kestabilan ekonomi hanya bertahan sekitar 10 tahun.
La Tellong cucu sang Matowa sendiri yang merusak suasana, wibawa dan fasailitas
dan berbagai hak istimewa sang kakek disalahgunakan. La Tellong melakukan
berbagai keonaran dan mencari keuntungan sendiri dengan menggunakan hak
istimewa dan karisma kakeknya. Hak istimewa itulah yang dipergunakan La Tellong
dengan mengatasnamakan kakeknya sambil berlindung dibawah wibawa kakekanya ia
merajalela dengan seenaknya membeli
barang dengan membayar harga yang tidak pantas dan menjualnya kembali dengan
harga yang mahal. Para pengusaha Bugis terutama dari Wajo tak dapat berbuat
apa-apa atas perlakukan La Tellong, mereka sangat segang dan menghormati Matowa
La Nongko sebagai Matowa yang arif dan bijak itu.
Merefleksi pengalaman empirik
Matowa Wajo tersebut di atas dalam melihat kondisi kekinian Sulawesi Selatan, tabiat
koruptif dari perselisingkuhan pengusaha dengan penguasa semakin membesar. Karena
umumnya motivasi utama para pengusaha berselingkuh dengan penguasa guna
mempertahankan kepetingan bisnisnya sebagai kroni kapitalis, bukan entrepreneur
sejati. Kerajaan bisnis yang dibangun bukan hasil persaingan usaha yang sehat
dan inovasi bisnis tetapi hak istimewa dan konsesi yang diberikan penguasa
sebagai patronnya. Sehingga dia tidak
lebih pengusaha semu, yaitu seorang pengusaha yang tumbuh karena hubungan mesra
atau perselingkuhan dengan penguasa.
Komentar
Posting Komentar