ZIARAH
KEMAKAM DATU SOPENG KE 18
LA
PATAU MATANNA TIKKA SULTAN IDRIS ALIMUDDIN
Oleh
: H. Ahmad Saransi
Salah satu ritual menjelang
ulang tahun suatu daerah biasanya dilakukan ziarah ke makam para tokoh yang
berjasah pada daerah tersebut. Berkaitan dengan hal itu mrenjelang Ulang
Tahun Soppeng yang ke 760 tahun yang jatuh pada tanggal 23 Maret 2021 maka
penulis ingin mengajak pembaca untuk berziarah ke makam salah seorang tokoh
yang pernah memegang tampuk pemerintahan di kerajaan Soppeng yaitu La Patau Matanna Tikka Sultan Idris Alimuddin Datu
Soppeng ke 18. Ia adalah kemanakan
langsung dari Datu Marioriwawo atau dengan nama popular Arung Palakka Petta To Risompae
Sultan Saduddin Matinroe ri Bontoala. (selanjutnya disebut sebagai Datu
Marioriwawo dalam tulisan ini).
La Patau Matanna Tikka lahir
pada tanggal 3 September 1672 adalah anak dari adik perempuan Datu Marioriwawo yang bernama We Mappolo
Bombannge Da Ompo We Tenri Wale Maddanreng Palakka Matinroe ri Ajappasareng.
Anak ini lahir dari hasil perkawinannya
dengan La Pakokoe Toangkone Tadampalie Arung Timurung Macomennge. OLeh sebab
itu, La Patau juga sebagai Ranreng Towa Wajo, dan juga sebagai Arung Ugi.
Dalam sejarah diceritakan
mengenai pengangkatan La Patau menjadi Datu Soppeng ke 18 menggantikan La
Tenrisenngeng To Esa. Konon kabaranya La Tenrisenngeng tidak memiliki anak
sebagai pewaris tahta ke-Datu-an di kerajaan Soppang, maka banyak bangsawan tinggi di kerajaan Soppeng yang
merasa berhak untuk menggantikannya. Hal ini membuat Dewan Hadat Kerajaan
Soppeng melakukan pertemuan beberapa kali untuk menentukan siapakah yang
sebenarnya yang layak untuk menduduki jabatan Datu di Kerajaan Soppeng. Setelah
beberapa kali berunding, mereka memutuskan untuk menunjuk La Patau Matanna
Tikka sebagai Datu Soppeng yang ke 18 (1696 – 1714). Dengan harapan Lapatau dapat
membawa Soppeng kearah yang lebih baik.
Perlu diketahui bahwa
beberapa bulan sebelum memangku Datu Soppeng La Patau telah dinobatkan sebagai Raja Bone yang ke 16 (1696
– 1714) pada tanggal 5 April 1696 bertepatan tanggal wafatnya neneknya Datu
Marioriwao atau Arung Palakka Raja Bone ke 15.
Beliau sangat bijak menjalankan pemerintahannya sebagai Datu Soppeng maupun sebagai Mangkau di
Bone selama 17 tahun lamanya. Pada tanggal 1 September 1714 beliau wafat dan
dikebumikan di Nagauleng – Cenrana Kerajaan Bone. Untuk itu beliau diberi
gelar anumerta Matinroe ri Nagauleng.
Ziarah
Ke Makam La Patau
Lima Belas tahun yang silam saya pernah mendapat undangan untuk menghadiri upacara ziarah ke makam Datu Soppeng ke 18 Yang Mulia Almarhum La Patau Matanna Tikka Sultan Idris Alimuddin. Undangan itu sangat berharga dan suatu kehormatan buat saya pribadi karena dalam prosesi itu saya dilibatkan dan sempat memegang salah satu tombak La Patau, begitupun benda-benda warisan yang sebelumnya cuma dapat kami lihat fotonya ketika kami di KITLV Leiden, alhamdulilah saat itu dapat kami lihat secara langsung. Adapun benda-benda warisan La Patau yang sempat saya lihat, seperangkat kembu kuningan, konon kabarnya kembu dan tombak itu biasa dipakai La Patau sebagai pengganti diri untuk datang menikahi perempuan kesukaannya..
Diinformasikan pula bahwa makam La Patau sebelumnya tidak terawat dan ditumbuhi semak belukar sebagaimana foto yang saya dapat Leiden, namun dalam kunjungan saya pada waktu itu sudah terawat bahkan sudah ada bangunan gedung permanen dimana didalamnya terdapat makam La Patau bersama beberapa istrinya dan beberapa pendampingnya. Entah kapan dibangun gedung ini, cuma diperoleh informasi dari salah satu sumber informasi yang terdapat pada prasasti yang dibuat oleh Dinas Pariwisata Bone dengan angka tahun 1989/1990 walaupun prasasti itu perlu dikoreksi karena terdapat beberapa kesalahan (lihat foto).
Dalam ziarah ini saya sempat
duduk bersimpu dan berdoa lalu membasuh air pada nisan makam La Patau, kemudian berturut-turut saya begeser ke makam Datu Mampu isteri ke 2; We
Ummung Datu Larompong isteri ke 3, I Dala isteri ke 4. Namun pada saat saya beranjak dan bergeser ke
makam We Sundari (dari Soppeng) isteri ke 5 ternyata ia berada diluar kompleks gedung itu bersama isteri
La Patau yang bernama Dala Cenning yang merupakan putri dari keturunan Datu
Soppeng. Konon kabarnya Dala Cenning mati terbunuh karena terjadi pelanggaran adat
yaitu, “malaweng”.
Ketika saya beranjak pulang untuk meninggalkan kompleks makam La Patau pemikiran saya bergelayut dengan penuh tanda tanya, mengapa makam We Sundari berada diluar kompleks gedung itu sehingg tidak terlindungi dari derasnya hujan atau teriknya matahari sebagaimana perlakuaan terhadap makam isteri La Patau lainnya? Mungkin sompung lolo siajing to Boneku atau wijanna La Patau sudah lupa bahwa La Patau juga pernah memangku ke-Datu-an di Kerajaan Sopeng sebagai Datu Soppeng ke 18? Tak lepas dari pertanyaan-pertanyaan bergelayut dalam pemikiran saya itu, seorang keturunan La Patau selaku penjaga kompleks makam itu menghampiri saya sambil berkata, “Narekko nakenna russa Bone ceddi bawang wedding mpewai, sompung lolo to Soppeng, Itulah sejarah”.Begitulah ucapnya dengan penuh ketegasan. Dan saya pun tidak mampu menjawabnya kecuali dengan ucapan, “Salamakki Topada salama”. Dirgahayu Soppeng yang ke 760.
Komentar
Posting Komentar