SAUDAGAR BUGIS WAJO
(Untuk
Dua Tahun Kepemimpinan Bupati Wajo Dr. H. Amran Mahmud)
Oleh
H. Andi Ahmad Saransi
Tak lama setelah keruntuhan Somba Opu ibu kota Kerajaan Gowa 1667 yang ditandai dengan penandatangan perjanjian Bungaya pada tahun 1667, Tosora ibu kpota Kerajaan Wajo pun diporak-poranda. Benteng utama Kerajaan Wajo, Tosora dihancurkan pada tahun 1670 dan Arung Matowa Wajo La Tenrilai To Senngeng yang perkasa gugur dalam perang.
Orang-orang Wajo mengalami
kesengsaraan yang tiada taranya dalam sejarah regional Sulawesi Selatan.
Kerajaan Wajo dengan Ibukotanya Tosora hancur. Kelaparan, penderitaan dan
penyakit melanda rakyatnya, mereka meninggalkan Wajo mengembara keberbagai
negeri dan daerah sekitarnya, ke Lompengeng, ke Mandar, ke Luwu, atau menyeberang lautan ke Selangor, Bima, Sumbawa,
Buton, Banjarmasing. Selain itu banyak yang lari ke Makassar dan mendirikan
satu perkampungan tersendiri, “Kampung Wajo”.
Mereka betul-betul sangat
menderita, bukan karena kekalahan perang dan kehancuran Tosora, tetapi juga
mereka betul-betul miskin, harta kekayaan mereka ludes dirampas oleh musuh
ketika Tosora hancur. Kampung-kampung diberbagai negeri di Wajo
diporak-porandakan, perkampungan dibakar, begitulah kisah orang Wajo yang kalah
perang.
Satu-satunya milik mereka
yang tidak dirampas dan terbawa berlari kemanapun ia pergi, adalah etos kerja
(reso), spirit kebugisannya yang mandiri. Hanya itulah yang tidak dapat
dihancurkan sekalipun Tosora hancur 1000
kali.
Hanya dua tahun setelah
trauma Tosora berlalu, orang-orang Wajo mulai bangkit. Mereka bersepakat
mengangkat To Pa’buki (1671) sebagai Matoa. Satu Jabatan non struktural yang
berperan sebagai orang tua bagi orang-orang Wajo diperantauan, bagi pabbalu-balu atau padangkang To Wajo diberbagai pasar dimanapun mereka merantau
mebawa nasib. Pengangkatan To Pa’buki sangat besar artinya sebagai embrio
lahirnya satu bentuk ikatan sosial baru berupa imperium dagang Bugis.
Bagi orang Wajo kehancuran Tosora adalah satu
isyarat yang sangat penting terjadi satu perubahan zaman. Tosora adalah satu
simbol dari imperium politik, kekuasaan, serta pemerintahan yang riwayatnya
sudah berakhir. Karena itu sekalipun kerajaan Wajo masih berdiri setelah
Tosora runtuh dan Arung Matoa Wajo yang baru Puanna Gella masih diakui
eksistensinya dalam batas-batas perjanjian kerajaan penakluk, bagi orang-orang
Wajo peranan kerajaan tak lebih alat legitimasi serimonial belaka. Duka yang
mendalam akibat kekalahan perang, mereka tak dibawa lama-lama. Orang-orang Wajo laksana seekor ular yang sedang mallomo alias berganti kulit. Mereka
menciptakan satu dunia dengan Matoa sebagai tokoh sentralnya. Matoa sebagai
menjadi ketua bagi seluruh orang Wajo diperantauan dan bagi para pedagang
hampir diseluruh pasar dirantau. Dunia baru yang dibangun orang-orang Wajo
adalah dunia perdagangan yang steril dari politik, kekuasaan dan militer. Dalam
dunia baru itulah para saudagar menjadi penguasa atas usahanya.
Ketika To Pa’buki digantikan
oleh To Pakkalo seorang saudagar dari Menge menjadi Matoa yang kedua, peranan
perdagangan Bugis – Wajo menjadi besar dan semakin meningkat. Pada zaman inilah
pedagang-pedagang Wajo menjalin hubungan dengan orang-orang asing yang
berdatangan di Makassar, dan hanya tujuh tahun setelah kebangkitannya yang
dimulai dari penderitaan dan kemiskinan, orang-orang Wajo kembali menemukan
dirinya, mulailah banyak orang-orang kaya di Makassar dan memiliki perahu
paddewakang untuk pelayaran jarak jauh ke Tana
Bare’ (kawasan Barat) Indonesia
seperti Pulau Panjang, Palembang, Bengkulu, Riu.
Pada zaman Matoa To Pakkalo
inilah aturan perdagangan yang menjadi dasar manajerial eksistensi Matoa
ditetapkan. Dua Puluh Satu tahun To Pakkalo mengabdi menjadi Matowa nalélé pammaséna Alla Taala (wafat).
Pada tahun 1697 para
saudagar Bugis bersepakat mengangkat seorang tokoh masyarakat dari Pallekoreng yang
bernama La Patello Amanna Gappa sebagai Matoa Wajo ke 3. Di tengah para
saudagar Bugis yang baru saja mengangkatnya menjadi Matoa, La Pattelo
Amanagappa Matoa Wajo ke 3 mengeluarkan nasehatnya yang pertama, “saya maklum
bahwa kalian orang-orang Bugis gemar berbini dan membelanjakan uang dan harta
benda kalian. Tak apalah; pakailah uangmu untuk berbini belanjakan sepuasmu,
tetapi ingat, bahwa modal pokok kalian tak boleh dihabiskan”.
Pada masanya berbagai kode
etika perdagangan diterapkan termasuk undang-undang pelayaran dan perdagangan.
Satu hal yang menarik dari undang-undang itu adalah karena sekalipun ia dibuat
hanya untuk pedagang-pedagang Bugis Wajo namun ternyata kode etik ini menjadi
pegangan bagi seluruh saudagar secara keseluruhan yang denyutnya masih terasa
hingga sekarang.
Pada masa Amanna Gappa lah
bendera kebesaran Wajo Sakkaleng dikibarkan kembali. Namun peranannya tidak
lagi sebagai regalia bagi satu imperium politik dan kekuasaan yang berpusat
di Tosara dimana Arung Matoa Wajo sebagai symbol kekuasaan. Tiga Puluh tahun
setelah Tosora hancur Sakkaleng dikibarkan kembali di kampung Wajo di rumah
besar Matoa Wajo Amanna Gappa. Sebuah acara sakral yang penuh kemewahan
berlangsung di kampung Wajo. Hampir semua saudagar Bugis datang dengan berbagai kemegahannya.
Pada acara itulah lipatan pusaka yang sakral itu dilumuri dengan darah sejumlah
kerbau sumbangan saudagar Bugis yang kaya raya. Sakkaleng terlah beralih fungsi
dari regalia politik dan kekuasaan ke regalia ekonomi. Ia tidak lagi dkikbarkan
untuk memberi restu keberangkatan prajurit Wajo yang akan berangkat ke medan
perang tetapi menjadi symbol ikatan berbagai nazar bagi semua saudagar
Bugis terutama yang bagi yang akan
memulai usahanya memohon restu dari Matoa dan ketika ia bersimpu di depan
Sakkaleng bendera psuaka Wajo yang sakral itu. Mereka berjanji pada dirinya
akan bekerja keras, semoga Allah membukakan pintu rezeki bagi usahanya dan
memperoleh keuntungan yang berlipat ganda atas keksuksesan usahanya. Ketika
menuruni tangga rumah Matoa etos kerja (semangat reso)yang merambat dalam darah
kebgugisannya mengalir sangat deras, menuntutnya agar janji yang diucapkannya
di depan sakkaleng dipenuhi. Ketika itu prosedur untuk menjadi seorang pemngusaha
tidak terlalu sulit, seorang hanya datang memohon restu sama Matoa, lalu maccera pada sakkaleng setelah imam
kampung Wajo turut memberinya doa. Setelah doa selesai dibaca dimulailah sebuah
usaha sesuai janji pada dirinya, dan lahirlah seorang saudagar yang sejati.
Perjalanan sejarah Sistem
Ke-Mato-an ini berjalan hingga Matoa
La Koda yang ke 20 kemudian istilah
Matoa berganti menjadi Kapitan (dari Kapitan I hingga VIII). Dari perjalan
sejarah panjang itu menjadi pertanyaan menarik buat Bapak Dr. H. Amran.Mahmud S.Sos dalam dua
tahun kepemimpinannya selaku Bupati Wajo, adalah Ikatan apa yang menjadi perekat
kerukunan saudagar Bugis Wajo untuk bersatu dalam satu tujuan ? Bisakah dibangun
bagi saudagar Bugis Wajo untuk memiliki emosi yang sama sehingga mereka rela
berkorban untuk kepentingan daerahnya? Hal ini menyangkut idealisme dan sangat
hakiki, karena ini adalah spirit dari etos kerja para saudagar Bugis Wajo dalam
berusaha, dan ini sangat penting jika betul-betul Wajo mau dibangun dengan spirit
yassiwajori. Semoga.
Kreeeenn ulasannya Pung Aji...Biar Tosora dibakar 1000 kali, ada satu yg tak mungkin hilang terbakar yakni Semangatx To Sora..inspiratif dan sangat mengedukasi baik generasi kini maupun mendatang..Tarimakasi maraja Pung Aji..salamaki tapada salama..Tabarakallah..👍👍🙏
BalasHapus