“MEMERDEKAKAN”
I LA GALIGO
Oleh
: H. Andi Ahmad saransi
Mengutip Sang Kritukus
Sastra T.S. Eliot, lengkapnya Thomas Stearns Eliot, “penyair yang buruk meminjam,
penyair yang baik mencuri”. Apapun soalnya meminjam dan atau mencuri selalu
berhubungan dengan pengalihan, yaitu dengan terjemahan. Tentu saja ini sebuah
metavor. Penerjemahan Naskah Lontara I La Galigo dari bahasa Bugis ke Bahasa
Indonesia, sebagaimana pernah dilakukan oleh almarhum Laside Daeng Tapala, Drs.
Johan Nyompa, Drs. H. Muh. Salim, Prof. Fachruddin Ambo Enre, Prof. Nurhayati
Rahman, Dr. Andi Akhmar M.Hum, atau Abdi
Mahesa; tidak pernah menciptakan ekuivalen
sastra I La Galigo itu dalam satu bahasa
lain.
Sebuah terjemahan biasanya
lebih jelek atau lebih baik dari aslinya, dan tak mungkin sama dalam segala sesuatunya
dengan naskah yang asli. Kalau ide dapat dialihkan, mungkin liriknya yang
tercecer, kalau lariknya dapat diselamatkan, barangkali daya evokatifnya atau
pengunggah rasanya yang terabaikan; dan kalau itu pun dikorbankan, barangkali
itu muncul suatu orisinalitas baru yang cemerlang, sehingga aslinya lebih
berfungsi sebagai stimulus, tetapi tidak lagi menjadi bahan yang dialihkan ke
dalam bahasa lain.
Oleh sebab itu istilah “alih bahasa” sebagai sinonim untuk
“menerjemahkan” memuat pengertian yang amat terbatas. Yang dialihkan dalam satu
terjemahan jelas bukan sekedar bahasa, tetapi juga gagasan, suasana, gaya,
sugesti dan barangkali juga musikalitas bahasa.
Misalnya saja menerjemahkan
lontara pabbura (obat-obatan), atau lontara pattaungeng (astrologi) adalah
mengalihkan arti kata secara harafia kedalam bahasa lain, yaitu dengan
batas-batas konsep yang jelas, sekalipun demikian kedekatan konsep yang
tercapai tidak pernah sepenuhnya tepat. Kesulitan seperti itu semakin menyulitkan
bila menerjemahkan sastra I La Galigo yang ditandai ambivalensi dengan membawa
dua konsekuensi yaitu kesulitan dan sekaligus menguntungkan. Menyulitkan karena
sastra I La Galigo tidak pernah dapat menjanjikan dan tak mampu menyajikan arti
kata secara harafiah. Menguntungkan, karena memberi ruang yang lapang bagi
penterjemah untuk turut menciptakan makna yang mendekati kandungan isi asli I
La Galigo dan sekaligus memperkuatnya, atau mengaburkan makna asli, atau bahkan
menyelewengkan makna asli kedalam makna baru yang belum terlihat dalam naskah
asli (Lihat karya Idwar Anwa, I La Galigo jilid I, II, III).
Menarik disimak postingan
terjemahan I La Galgo dalam dinding Fb Adinda Alvin
Shul Vatrick:
“Kasihanilah aku, wahai si Bulan Purnama.
Engkau berikan
kepadaku sirih racikanmu kujadikan pelega hati.
Tiga tahun lamanya,
duhai Adikku.
Aku menyembunyikan rindu yang tak terhingga,
kegelisahan
hati yang tak berujung.
Hidup di dunia
bagai bunga layu kelihatannya,
tak bercahaya
lagi raut wajahku sebab tiada surut kerinduan ini merindukanmu menyesakkan
uluhati tak membiarkan nyenyak tidurku.”
Segera
Wellericina membuka cerana meracik sirih
lalu
menyuguhkan ke mulut orang yang rela mengorbankan jiwa untuknya.
Tak kuasa lagi
Sawerigading menahan kerinduan,
ingin segera
mengabulkan kehendak nurani menikmati cinta yang melenakan.
……
“Kasihanilah
aku, wahai Pujaan Hatiku.
Engkau
bersiap-siap menuju muara.
Kuantar engkau kembali ke Kelling bertemu
orang yang melahirkanmu,
kuikutkan
engkau ke Aleluwu menjadi ratu tunggal di istana manurung
menerima upeti
di kolong langit di permukaan bumi!”
Mengakhiri tulisan ini
dengan mengutip kata seorang filosof, a
poem means all that it can mean – sebuah karya sastra mengandung arti
sebanyak yang dapat dikandungnya. Kalau begitu,
mungkin saatnya kita memerdekakan
I La Galigo dari segala penjara pikiran yang seolah-olah hanya mengakui tafsir
tunggal dari seorang penerjemah. Kuru
sumange’ jiwa to rilangita maneng. Salammki topada salama.
Komentar
Posting Komentar