Edisi Perbaikan dan lengkap.
KISAH KERBAU BALAR
ORANG BUGIS PANTANG MAKAN KERBAU BALAR
Oleh : H. Andi Ahmad Saransi
Di
dalam cerita lama bahwa di daerah Bugis, tersebutlah
kerajaan yang dinamakan Kedatuan Luwu diperintah oleh seorang Raja yang disebut Datu. Kedatuan Luwu
terbilang makmur dan tentram berkat bimbingan sang Datu yang terkenal bijaksana, adil dan peramah.
Datu Luwu
sangat menyayangi rakyatnya, sebaliknya rakyat mencintai Datu nya. Datu
Luwu memerintah dengan adil, rakyatnya pun mematuhi semua perintahnya. Datu dan rakyatnya hidup bersatu padu.
Demikianlah kehidupan di kedatuan ini
berlangsung sejahtera dari tahun ke tahun.
Tetapi, segala sesuatu pasti tak ada yang kekal abadi di dunia ini. Semuanya akan silih berganti, mengalami perubahan bahkan kepunahan. Demikian pula halnya kedatuan
Luwu yang dikisahkan ini.
Suatu hari, langit yang cerah
tiba-tiba diliputi kabut mendung disebabkan adanya berita bahwa tuan Puteri We
Tenriola Taddampali , anak tunggal Datu
Luwu terserang penyakit masala uli- semacam penyakit kulit -lepra. Sudah beberapa dukun dan tabib diundang
untuk mengobatinya, tetapi jangankan sembuh, berkurang pun tidak kelihatan. Bahkan penyakit tuan Puteri dari hari ke hari bertambah parah. Seluruh
tubuhnya membengkak malahan dibeberapa bahagian badannya sudah terlihat luka-luka dan mengeluarkan nanah serta bau busuk.
Rakyat kedatuan Luwu pun sudah semakin gelisah dan bimbang, antara kecintaan kepada Datu dan ketidak
senangannya terhadap keadaan tuan Puteri We
Tenriola yang berpenyakit kulit dan dianggap
sangat berbahaya itu.
Setelah beberapa lamanya rakyat dilanda gelisah dan bimbang, maka pada suatu hari yang ditentukan, para pemuka masyarakat Kedatuan Luwu mengadakan pertemuan untuk merembukkan serta
mencari jalan keluar dari kegelisahan yang menimpa seluruh rakyat kedatuan
Luwu. Dalam pertemuan itu disepakati untuk mengirim utusan
menghadap Datu menyampaikan keinginan
rakyat, agar We Tenriola, Puteri
tunggal yang tercinta itu segera disingkirkan dari kedatuan
Luwu. Diputuskan pula bahwa apabila Datu tidak menghiraukan permohonan rakyatnya, maka
seluruh rakyat Kedatuan Luwu akan
meninggalkan Kedatuan dan pindah
ketempat lain ( malekke dapureng).
Pada waktu yang telah ditentukan para delegasi rakyat bersiap untuk menghadap Datu.
Setelah diatur dengan rapi delegasi pun datang
menghadap . Setelah sampai dihadapan Datu Luwu
salah seorang di antaranya bertindak sebagai juru bicara menyampaikan
kata-kata permohonan rakyat:
“Maafkan
Datu, atas nama seluruh rakyat kedatuan Luwu kami mempersembahkan permohonan ampun
beribu ampun kepada Datu.
Kami ingin menyampaikan bahwa yang
mana Datu sukai antara telur yang banyak
dibanding telur sebutir. Kalau Datu
lebih menyukai telur yang sebutir maka
kami semua rakyat kedatuan Luwu akan meninggalkan kedatuan yang kami cintai ini. Tetapi apabila Datu lebih menyukai telur yang banyak dari pada
telur yang sebutir, maka kami memohon kiranya tuan Puteri We
Tenriola yang terserang penyakit kulit, kiranya segera disingkirkan dari kedatuan Luwu.”
Mendengar kata-kata juru
bicara utusan rakyat yang datang menghadap itu Datu Luwu pun menengadah
menhana kesedihan hatinya, kemudian tunduk tanpa sepatah kata pun yang keluar
dari mulutnya. Suasana menjadi hening, mencekam. Semua yang berada dalam ruangan
pertemuan itu merasa sedih dan terharu melihat keadaan sang Datu. Rasa bimbang yang terjepit diantara pilihan pada Puteri kesayangannya dan kecintaannya kepada rakyatnya.
Akhirnya dengan air mata berlinang-linang, dengan terbata-bata Datu berkata; “Permohonanmu wahai
rakyatku saya telah dengarkan, keinginanmu telah saya maklumi sehingga untuk itu saya telah mengambil keputusan, bahwa saya lebih mencintai telur yang banyak
dari pada telur yang sebutir. Saya harap supaya kalin kembali hidup tentram sambil membantu saya mempersiapkan
pemberangkatan Puteri We Tenriola. Puteri tunggal saya yang akan meninggalkan kedatuan Luwu
menuju tempat yang kita tidak sama ketahui.
Setelah utusan rakyat Luwu mendengarkan keputusan Datu nya
mereka sangat gembira meski tetap diliputi keharuan
bagaimana ketulusan hati Datunya menerima permohonan mereka dan menetapkan keputusan yang berat.
Setelah ketua rombongan mengajukan sembah untuk pamit, merekapun pulang dengan penuh perasaan lega.
Segera diumumkan kehalayak ramai bahwa
agar semuanya tentram dan tidak perlu gelisah, karena permohonan rakyat telah diterima Datu dengan hati ikhlas. Selanjutnya diminta, kerelaan agar seluruh rakyat mempersiapkan
pemberangkatan tuan Puteri We Tenriola yang akan meninggalkan kedatuan
Luwu, ke tempat yang belum diketahui.
Demikianlah setelah
semua persiapan pemberangkatan tuan Puteri dirampungkan. Rakit raksasa dari bambu telah dibuat dan
ditambatkan di muara sungai. Semua perlengkapan dan perhiasan sebagai seorang Puteri
akan dibawa
serta. Begitu pula semua inang dan dayang pengiringnya akan membawa serta semua perlengkapannya. Alat pertanian, alat
pertukangan, alat-alat rumah tangga dari piring-piring sampai kelengkapan
dapur, begitupun bahan makanan baik yang
masak maupun yang mentah, tiada sedikit yang dibawanya.
Pada hari yang telah ditentukan, sebelum fajar menyinsing sudah
berbondong-bondong rakyat kedatuan memenuhi labuhan tempat rakit itu ditambatkan. Tepat saat fajar menyingsing, dengan mempergunakan usungan tertutup, tuan Puteri diturunkan ke rakit raksasa yang akan
ditumpanginya meninggalkan kedatuan Luwu menuju daerah yang tidak diketahuinya.
Semua inang dan dayang serta beberapa orang
pengiringnya yang setia kepadanya akan ikut serta meninggalkan kedatuan Luwu mengikuti keberangkatan tuan Puteri .
Dengan penuh hidmat tali rakit dilepaskan, diantar penuh cucuran air mata
oleh Datu Luwu dan permaisuri serta sekalian rakyat yang hadir di tempat
itu. Perlahan terlihat rakit itu mulai hanyut, mengikuti arus sungai. Para
pengantarnya baru meninggalkan tempat itu setelah mereka tak dapat lagi mengikuti dengan pandangan mata, rakit yang ditumpangi tuan Puteri kian menjauh. Demikian pula halnya Datu
Luwu dan permaisurinya.
Empat puluh hari empat puluh malam kedatuan Luwu berada
dalam keadaan berkabung. Tak ada keramaian, tak ada bunyi-bunyian, orang yang
lalu lalangpun tidak seramai seperti biasanya. Dari wajah setiap orang nampak rona kesedihan. Akhirnya setelah berlalu empat puluh
hari empat puluh malam, sedikit demi sedikit keadaan duka di kedatuan mulai pulih kembali.
***
Bagaimana dengan
nasib tuan Puteri We Tenriola Taddampali serta seluruh inang serta dayang dan pengiring yang menyertainya.
Setelah rakit yang ditumpanginya hanyut terbawa arus sungai berpuluh-puluh hari lamanya, akhirnya
terdamparlah rombongan itu
di tepi sebuah kampung yang tidak diketahui nama tempat itu. Beberapa orang
pengiringnya naik kedarat akan mencari tempat yang layak untuk dijadikan perkampungan mereka. Mujur
sekali karena tidak jauh dari sungai,
tepatnya di bawah pohon besar yang kemudian dikenal namanya pohon Wajo, menjadi lokasi pilihan mereka. Di lokasi inilah mereka membuat perkampungan. Pohon dan
bambu ditebang untuk dijadikan rumah beratap daun rumbia sebagai tempat tinggal
mereka. Di tengah-tengah lokasi
perumahan yang mereka bangun itu,
di bangun pula sebuah rumah besar untuk tempat tinggal tuan Puteri We Tenriola. Setelah rampung
seluruhnya, segala barang yang ada di rakit diangkut naik ke
rumah yang sudah selesai dibangun, termasuk
peralatan tuan Puteri. Tuan Puteri pun diusung hingga naik ke rumah besar yang berada ditengah-tengah perumahan
itu. Pengiringnya menempati rumah yang ada disekeliling rumah tuan Puteri.
Begitulah mereka pada mulanya
menempati perkampungan itu, sambil perlahan
berusaha membuka ladang
dan persawahan. Setiap hari mereka
giat bekerja, membangun perkampungan
itu. Sawah dan ladang yang baru mereka buka. Jalan perkampungan ditata rapi.
Bertahun lamanya mendiami
perkampungan itu. Mereka hidup dari hasil sawah dan ladang yang mereka usahakan
sendiri. Ikan mereka tangkap dari sungai yang mengalir tidak jauh dari tempat
mereka. Sekali-kali kaum pria pergi berburu rusa di hutan. Hidup mereka aman dan tentram tidak kurang
suatu apa pun.
Mengenai keadaan
penyakit tuan Puteri We
Tenriola, mereka merawatnya dengan ramuan obat yang mereka buat sendiri dari daun-daun kayu yang tumbuh di hutan tidak jauh dari perkampungan
mereka. Namun segala
upaya itu tidak menyembuhkan
penyakit sang Puteri, tetapi juga tidak makin parah.
Hingga pada suatu hari, ketika para penghuni perkampungan itu sedang pergi bekerja di sawah dan ladang mereka,
tiba-tiba datanglah seekor kerbau balar- berwarna dan berbulu putih, memakan padi yang mereka
jemur. Ketika itu tuan Puteri We
Tenriola yang kebetulan menjenguk ke luar jendela,
menyaksikan apa yang terjadi. Terlihat olehnya kerbau balar sedang memakan padi yang dijemur di depan rumahnya. Ia berteriak sekuat tenaga
mengusir kerbau itu, akan tetapi kerbau itu tak beranjak pergi
dari tempatnya,
bergeser pun tidak. Tuan Puteri dengan
segala tenaga dan
keberanian yang ada padanya, turun untuk menghalau kerbau itu. Tetapi, kerbau yang melihat kedatangan tuan Puteri, malah
tidak lari, melainkan menyongsong kedatangan tuan sang Puteri. Tuan Puteri pun berteriak lari
ketakutan.
“Tolong......toloooong....tolong”
Malang, tiba-tiba kakinya terantuk
pada sebuah batu dan ia pun terjatuh tidak sadarkan diri. Apa
kejadian selanjutnya?
Ternyata kerbau itu dengan leluasa
menjilatinya seluruh tubuh
sang Puteri. Lalu
pergi menghilang seolah gaib. Nantilah setelah pengiringnya pulang untuk makan
siang, didapatinya tuan Puteri We Tenriola sadang telentang di atas tanah dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Tanpa pemeriksaan panjang lebar tuan Puteri WE
Tenriola segera diangkat naik ke rumah. Seluruh tubuhnya yang
penuh jilatan kerbau balar itu tadi dibersihkan oleh inang dan dayangnya. Pada saat itu sang Puteri mulai sadarkan diri. Ia
meminta air minum, karena kerongkongannya terasa sangat dahaga.
Setelah minum, ia merasa mengantuk maka ia pun dibawa masuk ke biliknya untuk dibaringkan. Sangat nyenyak tidur Sang Puteri. Tak pernah ia tertidur senyenyak itu sebelumnya. Inang dan dayangnya setelah mengetahui
bahwa tuan Puteri sudah tidur lelap
merekapun pulang kerumah masing-masing. Hanyalah
seorang di antaranya menjaga di luar bilik tuan Puteri.
Jelang matahari terbenam barulah
tuan Puteri We Tenriola bangun dari tidurnya. Ia
merasakan satu hal yang aneh karena disamping merasa badannya tambah segar,
luka-luka yang diderita akibat penyakit kulitnya juga kelihatan mulai kering.
Ia pergi bercermin dan melihatnya wajahnya, nampak lebih bercahaya dibandingkan dengan masa sebelum
peristiwa aneh pagi tadi terjadi. Tanpa disadarinya ia berteriak memanggil inangnya.
“Inang......Inang.....kemarilah”
Inang yang memang
berjaga-jaga diluar bilik tuan Puteri segera masuk ke dalam bilik, setelah mendengar teriakan tuan Puteri. Dilihatnya tuannya sedang berdiri di muka cermin
dan kelihatannya lebih sehat dan lebih becahaya apabila dibandingkan dengan
keadaannya yang lalu-lalu. Inang itu mendekati tuan Puteri We Tenriola sambil menghormat sopan ia bertanya
“Bagaimana keadaan tuan Puteri,
apakah ada sesuatu yang diperlukan?”.
“Aku tidak memerlukan
sesuatu, hanya ingin aku menanyakan kepadamu hai inangku yang setia.
Bagaimanakah pandanganmu terhadap wajah mukaku sekarang ini, apakah ada
kelainannya menurut pandanganmu?”
Tanya We Tenriola.
“Terkutuklah
di kutuk Dewata Seuwae apabila aku berkata bohong di hadapan tuanku.
Sesungguhnya hamba akan menanyai tuanku siapa gerangan tabib
yang telah berhasil mengobati tuanku sehingga
terjadi perubahan yang sangat menabjukan ini. Kalau karena dewata kami bersedia
membuat korban tanda terimah kasih kami. Kalau dia adalkah manusia biasa kami
bersedia memperhambakan diri juga
kepadanya sebagai tanda terima kasih kami.” Jawab sang inang .
Tuan Puteri berkata lagi: ”Tak ada tabib yang mengobati saya, malahan tak ada obat
yang saya makan. Yang saya tahu hanyalah peristiwa tadi pagi yang mengubah
keadaan diri saya ini.”
Singkat cerita, dikisahkanlah peristiwa yang sama terjadi setiap hari
antara tuan Puteri dengan seekor
kerbau balar. Setiap selesai dijilati tubuhnya, tuan Puteri We
Tenriola merasa mengantuk dan ia pun pergi tidur. Setelah bangun tidur, kelihatan sekali adanya perubahan dan kesembuhan dari penyakit yang menimpanya, sampai kulitnya pulih kembali sebagaimana sediakala, malahan menjadi kian berseri.
***
Tersebutlah pada suatu hari putra mahkota
Kerajaan Bone- La Malu to Anging Raja, pergi berburu bersama
pengawalnya. Tiba-tiba Putra Raja itu tersesat bersama para
pengawalnya. Mereka berusaha
keluar dari hutan, akan tetapi jalan untuk
keluar tidak dapat mereka temukan. Berhari-hari
sudah, mereka berkitar-kitar
di tengah hutan itu, sampai bekal yang
mereka bawa habis.
Sambil beristirahat di bawah sebuah pohon yang besar, tiba-tiba salah seorang pengawal mengusulkan pada junjungannya agar diperkenankan memanjat pohon itu, siapa
tahu ada sesuatu yang dapat dijadikan pedoman untuk keluar dari kesesatan di hutan itu.
Akhirnya salah seorang dari pengawal putra mahkota Kerajaan Bone siperbolehkan memanjat pohon tempat dimana tuannya beristirahat. Di kejauhan ia melihat asap
api yang mengepul ke
angkasa. Dalam pikirannya pastilah ditempat itu ada manusia yang tinggal di sana. Maka diamatinyalah tempat itu dengan lebih cermat dan seksama. Samar- samar dilihatnya seperti ada perkampungan,
yang ditandai dengan adanya beberapa bangunan.
Segera
saja sang pengawal turun, dan langsung melaporkan
kepada tuannya La Malu To
Anging Raja apa yang telah
dilihatnya. Akhirnya disepakatilah untuk mengutus beberapa orang untuk
mengunjungi perkampungan tersebut. Setelah
berjalan beberapa lamanya, akhirnya dari kejauhan mereka mendengar suara anjing yang menggonggong. Maka makin yakinlah mereka akan adanya perkampungan dekat
ditempat itu. Dengan penuh harapan mereka mempercepat langkah. Tiba-tiba dengan
tidak diduga, beberapa orang berbadan tegap melompat keluar dari belukar mengancam dan memperingati mereka agar berhenti jikalau mau selamat. Para pengawal utusan anak Raja Bone itu segera berhenti sambil berkata: “Kami adalah orang
kesasar dan mohon di beri bantuan”. Para pengawal perkampungan tuan Puteri We Teriola pun mendekati mereka
sambil menanyakan lagi, dari mana mereka
berasal, serta akan kemana tujuan
selanjutnya. Utusan Putra Mahkota Kerajaan Bone pun menjelaskan secara singkat apa yang ditanya
pengawal itu.
Setelah jelas persoalannya, maka mereka dikawal oleh penjaga perkampungan itu, dibawa
menghadap tuan Puteri We
Tenriola. Para pengawal
Putra Mahkota
Kerajaan Bone sangat heran, sekaligus terpesona melihat bagaimana kecantikan tuan Puteri We Tenriola. Seumur hidup mereka, belum pernah melihat paras wanita secantik itu. Mereka pingsan dibuatnya. Para penjaga
perkampungan Tuan Puteri We Tenriola pun melaporkan serta segala sesuatunya berkaitan dengan penyergapan mereka.
Setelah
tersadar, para pengawal La Malu To Anging Raja Putra pun menyampaikan apa yang mereka alami hingga disergap oleh penjaga
perkampungan. Setelah tuan Puteri mendengar secara lengkap semua laporan, maka ia memerintahkan agar segera mengirimkan makan kepada La Malu To Anging Raja-Putra Mahkota Kerajaan Bone yang masih kesasar di tengah hutan. Sejurus kemudian makanan pun siap untuk dibawa para pengawal tadi. Setelah
diberi perbekalan yang cukup merekapun diperkenankan pergi.
Setelah mereka selesai makan apa yang dikirim oleh tuan Puteri
We Tenriola, di hadapan tuannya, para pengawal itu menyampaikan kepada La Malu To Anging Raja tentang
apa yang dilihatnya dan dialaminya. Bagaimana kecantikan dan keramahan sang tuan Puteri yang baik hati. Setelah itu
merekapun sepakat dan bergegas untuk berkunjung
ke perkampungan tempat tuan Puteri
itu berada.
Setelah beberapa lama mereka berjalan akhirnya sampailah
mereka di halaman
rumah utama- istana tuan Puteri We Tenriola. Seorang pengawal istana langsung menghadap tuan Puteri, untuk menyampaikan kabar kedatangan Putra Mahkota
Kerajaan Bone
La Malu To Anging Raja. Setelah tuan Puteri mendengar akan kedatangan tetamunya itu, iapun mempersiapkan
segala sesuatunya untuk penyambutan.
Inang pengasuh turun kehalaman muka istana, menyambut kedatangan sang Putra Mahkota
Kerajaan Bone serta mempersilahkan rombongannya naik ke istana. Putra Mahkota Kerajaan Bone, La Malu To Anging Raja dipersilahkan duduk oleh
inang pengasuh tuan Puteri .
Kemudian inang masuk kedalam bilik tuannya untuk mempersilahkan
tuannya menemui tamunya. Tuan Puteri We
Tenriola pada waktu itu masih tetap berada dalam biliknya, karena ia
merasa agak malu dan gugup untuk
bertemu dengan sesama anak bangsawan. Tetapi karena inang memaksanya dengan alasan kesopanan, Sang putri pun
bersedia untuk menemui tamunya
Baru saja kaki tuan Puteri nampak melangkah ke luar dari
biliknya, La Malu To
Anging Raja, Putra Mahkota Kerajaan Bone sudah merasakan denyut jantungnya sangat
deras, perasaannya nyaris tidak terkendalikan lagi. Resah dan gelisah tak
tahu apa yang harus diperbuatnya. Akhirnya saat tuan Puteri We
Tenriola berdiri dihadapannya ia pun jatuh pingsan tak sadar-sadarkan diri.
Segeralah tuan Puteri memerintahkan “Ambil segera mengambil mangkuk putih yang diisi air dari kondi yang ada didalam bilik saya”. Setelah air yang diminta telah tersedia, tuan Puteri
memasukan ujung rambutnya kedalam
mangkuk itu, kemudian ia memercikkan air itu kemuka La Malu To Anging Raja Putra Mahkota
Kerajaan Bone. Sejurus kemudian
sedikit demi sedikit La
Malu To Anging Raja siuman dari pingsannya. Setelah sadar
dengan ucapan berhiba-hiba ia menyampaikan terimah kasih atas bantuan yang telah diberikan oleh tuan Puteri.
Pertemuan ini berlangsung tidak lama sebab Putra Mahkota
Kerajaan Bone tidak dapat lagi menguasai dirinya setelah melihat kecantikan tuan Puteri. Segera ia beserta pengiringnya pamit, minta diri dan
berterima kasih atas bantuan yang
telah diterimanya. Untuk memandu rombongan Putra Mahkota Kerajaan Bone, We
Tenriola memerintahkan dua orang penunjuk jalan agar mereka dapat
memandu tamunya meninggalkan istana dengan lancar.
Beberapa
kemudian, sampailah rombongan La
Malu To Anging Raja ke
Watampone ibukota Kerajaan Bone. Mereka langsung menuju istana. Arung Mangkauk Bone sudah lama menunggu
kedatangan kembali Putra Mahkotanya. Hanya pada saat itu saja ia bertemu dengan ayahandanya, karena sesudah itu La Malu to Anging Raja sengaja mengurung diri di dalam
kamarnya.
Hingga berhari-hari kemudian La Malu to Anging Raja hanya menyepi
di kamarnya. Lalu pada suatu pagi Arung Mangkauk berunding dengan permaisurinya
“Pergilah tanyai putramu, apa
gerangan yang menyebabkan ia mengurung diri begitu, kalau ada yang menyakiti hatinya, agar segera disampaikan agar kita perangi musuhnya. Kalau ada Puteri yang menggelisahkannya,
kita akan pinang untuknya,
walau seluruh harta Kerajaan menjadi imbalannya.
Segeralah permaisuri memasuki kamar putranya. Dilihatnya La Malu to Anging Raja putranya sedang berbaring
menyelimuti diri tempat tidurnya. Ia mendekati tempat tidur
putranya sambil berkata: “Putraku yang tercinta, gerangan apa yang menyebabkan engkau hanya mengurung diri dalam kamarmu, apakah ada yang
menyakiti dalam hatimu agar disampaikan saja supaya ayahmu Arung Mangkauk memerintahkan memeranginya. Kalau ada Puteri yang menggelisahkan hatimu sampaikanlah
agar ayahandamu meminangnya untukmu walau harta kerajaan kita menjadi imbalannya”.
Setelah La
Malu To Anging Raja mendengar ucapan ibundanya, iapun membuka selubung selimut yang menupi mukanya sambil berkata kepada
ibundanya “Mohon ampun beribu ampun,
bunda. Dalam perjalananku berburu
baru-baru ini aku tersesat di tengah hutan.”
“Lalu apa
yang terjadi anakku?” Tanya Permaisuri dengan khawatir.
La Malu to
Anging Raja pun menceriterakan pengalamannya juga pertemuannya dengan seorang Puteri
cantik di perkampungan itu.
“Siapa
gerangan dia?”
“Wanita itu ternyata adalah
seorang Puteri tapi entah dari kerajan mana
gerangan asalnya. Jelasnya sejak itu saya sudah jatuh cinta kepadanya.
Inilah yang menyebabkan saya tidak mau keluar dari kamar saya karena malu
diketahui orang akan keadaan diri saya.” Urai La Malu kepada bundanya.
Setelah permaisuri mendengar cerita putranya, ia pun segera menemui Arung Mangkauk dan menyampaikan apa yang diceriterakan putranya. Arung Mangkau’ pun memerintahkan agar putranya datang menemuinya.
Setelah La Malu to
Anging Raja datang menemui ayahnya, ia pun diperintahkan agar kembali tenang, karena akan di kirim utusan meminang sang Puteri yang dia cintai.
Singkatkan ceritera, utusan Arung Mangkau’ Bone pun berangkat ke perkampungan
tuan Puteri We Tenriola. Sampai di sana utusan
menyampaikan pesan Arung
Mangkau’ Bone, yaitu meminang sang tuan Puteri untuk putranya. Lamaran itu tidak dapat langsung diterima Sang
Puteri karena masih harus memohon persetujuan ayahandanya, Datu Luwu.
Akhirnya perkawinan tuan Puteri We Tenriola dengan Putra Mahkota Kerajaan Bone- La Malu To Anging Raja dapat berlangsung dengan megahnya. Setelah lamaran disetujui oleh Datu Luwu.
Sejak itu kedua suami istri, putera-puteri raja itu
pun hidup rukun dan memerintah perkampungan itu dengan penuh kesungguhan dan
keadilan. Perkampungan ini dari hari kehari menjadi ramai dan makmur. Karenanya banyak penduduk yang datang menyandarkan nasib dan hidupnya di sana. Akhirnya
perkampungan ini terus bertumbuh, berkembang menjadi sebuah kerajaan yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Wajo, sesuai nama pohon tempat perkampungan ini pertama kali didirikan.
Daftar Istilah
Kerbau balar : Berasal
dari kata dasar kerbau-balar - Kerbau balar
adalah
kerbau yang kulit dan bulunya putih.
Terbawa sekali membaca Epos ini. Ditunggu kelanjutannya
BalasHapusSilahkan baca kembali edisi perbaikannya.
HapusSilahkan baca kembali edisi perbaikan dan lengkap itu.
Hapussiapakah gerangan sang putri itu. Menunggu kisah selanjutnya
BalasHapusSilahkan baca kembali edisi edit dan lengkap ini
HapusSempat baca kisahnya di buku Sejarah Wajo, tulisan Abdurrazak Daeng Patunru. Perlu dilestarikan agar, generasi muda Bugis lebih mengenal lagi kisah, legenda, folklore dari daerahnya sendiri. Terimakasih Pung aji atas tulisannya.....
BalasHapusMAntap tulisanya Ayahanda, ditunggu episode selanjutnya
BalasHapusSaran ku agar blog ini makin terkenal dan menjadi rujukan sebaiknya melengkapi bagian profil
BalasHapusSungguh berharga dan terima kasih sarannya
BalasHapuscerita kerbauanya singkat...sekedar numpang lewat. msh penasaran dgn kisah si kerbau lengkapnya...
BalasHapus