BUDAYA 

SEBAGAI SPIRIT KEHIDUPAN MASYARAKAT SOPPENG

OLeh : H. Andi Ahmad Saransi

                                              H. Andi Kaswadi Razak Bupati Soppeng

Bila kita memperhatikan dengan cermat mengenai negara-negara maju maka negara itu memiliki tatanan kebudayaan yang kuat. Sebutlah Cina, Jepang, Korea Selatan. Landasan budaya merupakan spirit nenek moyang yang menjadikan bangsa itu sangat kuat. Itu pun dengan kesadaran mereka bahwa tanpa budaya maka mereka tak bisa bertahan dan melejit.

Peran budaya dalam membangun bangsa sangat mendasar karena menyangkut nilai-nilai kehidupan yang melandasi sebuah tatanan kehidupan masyarakat. Misalnya kemajuan Korea Selatan adalah sebuah contoh nyata bagaimana kebudayaan mereka berhasil dikapitalisasi menjadi produk-produk industri kreatif. Hal ini hanya dimungkinkan jika nilai-nilai budaya mereka telah mengakar kuat sebagai sendi kehidupan masyarakat. Artinya, rakyat Korea adalah masyarakat yang menjadikan tradisi dan budaya mereka sebagai landasan dalam setiap sendi kehidupan.

Bagi masyarakat Soppeng, satu kekuatan budaya yang mereka miliki seperti masyarakat Bugis lainnya, memilki tatanan budaya yang kuat. Ajaran hidup dari La Galigo merupakan peninggalan budaya yang agung dan sangat sarat dengan nilai-nilai budaya. Lagi pula sudah lama sebagai akar kebudayaan yang memberi masyarakatnya pengejawantahan kehidupan. Oleh sebab itu masyaakat Soppeng menjadikan acuan bersikap sebagaimana dicantumkan dalam karawi Lambang Daerah Kabupaten Soppeng. Dimana masyarakatnya memiliki pangadereng selaku wujud totalitas kebudayaan yang lima unsur, yaitu :

1.    Ade’ adalah yang mengatur pelaksanaan system norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan warga masyarakat;

2.    Bicara, aturan peradilan yang menentukan sesuatu hal yang adil dan benar, dan sebaliknya curang atau salah;

3.    Wari, aturan ketatalaksanaan yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan kewajaran dan kepantasan dalam hubungan kekerabatan dan silsilah;

4.    Rapang, aturan yang menempatkan kejadian atau ikhwa masa lalu sebagai teladan atau kejadian yang patut diperhatikan atau diikuti bagi keperluan masa kini;

5.    Sara’, atau aturan atau syariat Islam, yang menjadi unsur pangadereng pada sekitar tahun 1611, di kala Islam diterima sebagai agama resmi dan umum pada masyarakat Bugis – Makassar .

Ke lima pangadereng ini dibangun atas landasan konsep siri’ yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Siri’ merupakan martabat dan harga diri manusia. Dari konsep siri itu telah dikenal dan dihayati sejak lama oleh masyarakat Bugis – Makassar yang ditemukan hidup di tengah-tengah masyarakat yang antara lain : siri’ emmi natiaseng tau hanya dengan siri yang kita dinamakan manusia. Maksudnya, karena adanya siri maka kita dinamakan manusia.



Sikap masyarakat Soppeng, seperti masyarakat Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja yang ada didataran Sulawesi juga memiliki akkatenningeng (pegangan). Dalam pesan negarawan Arung Bila sebagaimana tercantum dalam lontara  dikenal adanya enam akkatenningeng sebagai prinsip laku utama dalam kehidupan masyarakat :

1.    Ada tongeng, (kata-kata yang benar), maksudnya melakukan perbuatan sesuai apa yang diucapkan (ada na gau’);

2.    Lempu, (lurus, jujur), berkaitan dengan kejujuran terhadap harta;

3.    Getteng, (teguh pada keyakinan yang benar),manakala suatu kebenaran yang telah dianut maka manusia harus teguh pada keyakinannya yang tidak goyah;

4.    Sipakatau, (saling memanusiakan), maksudnya saling menghargai sesame manusia;

5.    Réso, (kerja keras), maksudnya, untuk mencapai tujuan harus dilalui dengan kerja keras. Akkateningeng ini bagi  masyarakat Soppeng dikenal dengan, résopa natemmanginngi nalétéi pammasé Déwata.

6.    Mappésona ri Déwata Séuwaé), (berserah diri pada Tuhan Yang Esa), maksudnya berserah diri pada Tuhan Yang Maha Esa.

Adanya pegangan hidup yang berlandas pada kebudayaan di tengah-tengah masyarakat Soppeng memang tidak terlepas dari ajaran hidup I La Galigo dan ini tetap hidup ditengah masyarakat Soppeng.

Salah satu sikap budaya tetap hidup itu, terlihat ketika diadakan festival La Galigo III dan Seminar Internasional pada tanggal 17 – 23  Desember  2018  di Soppeng. Ada acara mattarawatu, massappo wanua, kirab budaya yang antara lain acara mosong, maddoja bine, kampung budaya yang disi dengan kuliner tradisional, permainan rakyat, dan masih banyak lagi. Ketika festival ini dilaksanakan antusiasme masyarakat sangat besar.

“sesungguhnya saya melakukan ujian untuk menilai semangat kebudayaan dan kecintaan masyarakat terhadap nilai-nilai budayanya. Dan ternyata masyarakat melakoninya, mereka tak menggerutu. Mereka menghayati dan menghormati ritual itu. Itu artinya nilai-nilai budaya tetap hidup ditengah-tengah masyarakat Soppeng”, tutur H. Andi Kaswadi Razak.

Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila beliau berkeinginan menjadikan Soppeng sebagai benteng budaya Sulawesi Selatan, dan ini bukan slogan kosong, walau pelan tapi pasti beliu sudah menindaklanjuti dengan mengeluarkan Instrusik agar ASN, karyawan perusahaan BUMND Soppeng untuk memakaia songkok recca pada hari kamis setiap hari kerja, begitupun pembukaan sekolah bugis telah diwujudkannya.

 

  

Komentar

  1. Tulisan yg sangat informatif, mengedukasi dan patut diteruskan dari generasi ke genari sbg bagian dr upaya pelestarian dan penanaman karakter Bugis..thanks Pung Aji..

    BalasHapus
  2. Tulisan yg sangat informatif, mengedukasi dan patut diteruskan dari generasi ke genari sbg bagian dr upaya pelestarian dan penanaman karakter Bugis..thanks Pung Aji..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer