“BANNED BOOKS WEEK”  

DAN TRADISI TULIS MASYARAKAT BUGIS MAKASSAR

Oleh : H. A. Ahmad Saransi

 

Banned Books Week

Banned Books Week atau Minggu Buku Terlarang, ini adalah peringatan tahunan yang diperingati dari tanggal 27 September hingga 3 Oktober. Peringatan ini dimaksudkan sebagai prayaan laku membaca yang mulanya diinisiasi oleh sejumlah pembela kebebasan berekspresi di Amerika Serikat yang kemudian menyebar keberbagai penjuru dunia.

Kegiatan ini untuk kali pertamanya diluncurkan pada tahun 1982  sebagai reaksi atas pelarangan dan persekusi atas buku-buku tertentu disejumlah sekolah, perpustakaan, dan tokoh buku di Amerika Serikat.


Ritual membuka naskah lontara 

Di Indonesia, pelarangan pertama dimulai pada zaman Orde Lama yaitu dikeluarkannya Surat Keputusan Perdana Menteri RI Nomor 328/PM/1956 tentang larangan bagi penerbit dari luar negeri. Selanjutnya dalam kurung waktu tahun 1957 – 1958 beberapa Surat Keputusan Perdana Menteri RI mengenai larangan peredaran buku-buku atau majalah tertentu.

Misalnya buku yang dilarang  adalah :  Kitab Nur Muhammad; Catatan Batin , Pejuang Revolusioner oleh Kahar Muzakkar; Agama Islam karangan Prof. Dr. H. Kraemer; Bandit-Bandit Ibu Kota; Cahaya I karangan Johan van Hulzen, Indonesia Di Mata Dunia karangan Muchtar Lubis; Hoa Kiao; The Women of Rome and Not Yet; dan masih banyak lagi. Sedangkan untuk majalah, misalnya : Sketsa Massa, Rindu, Rumah Tangga da Kesehatan, dan lain-lain.

Memasuki pemerintahan Orde Baru di Indonesia pelarangan buku semakin memuncak terutama setelah meletusnya G30S PKI, tepatnya pada tanggal 30 November 1965. Saat itu pembantu Menteri Pnedidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan Drs. K Setiadi Kartohadikusumo melarang 70 judul buku, kemudian disusul pelarangan terhadap semua karya dari 87 Pengarang yang dicap sebagai sebagai bagian dari kelompok kiri anti Pancasila. Akibatnya buku-bukunya harus dimusnahkan dari semua perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sehingga banyak buku-buku penting dari masa itu musnah.

Menurut Stanley, peneliti dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI), selam 31 tahun Orde Baru berdiri tercatat lebih 2.000 buku yang dilarang beredar. Sebagian besar dengan alasan politis. Contohnya : Militer dan Politik di Indonesia, terjemahan dari Army and Politich in Indonesia oleh Harold Crouch; buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer dan karya Utuy Tatang Sontani;   

Tradisi Tulis

Alasan pelarangan itu hampir sama antar Orde Lama dan Orde Baru, yakni dianggap tulisan yang menyesatkan, memutar balikkan sejarah, pelecehan agama, politik, merendahkan martabat pemerintahan terutama pemerintahan Orde Baru.

Pelarangan buku oleh penguasa atau oknum agen pembodohan tentu saja amat memperihatinkan. Buku adalah sumber ilmu, siapa pun berhak memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya dengan membaca, termasuk buku-buku yang tidak sehaluan dengan pemegang kekuasaan.

   salah buku terlarang pada jaman Orde Baru 


Untuk itu menarik melihat tradisi tulis       Masyarakat Bugis Makassar yang oleh rajanya tidak pernah melakukan pelarangan penulisan atau pembakaran karya literasi yang dianggap bertentangan dengannya sehingga melahirkan ribuan judul naskah lontara dan telah mendapat pengakuan sebagai pemilik naskah terpanjang di dunia.

Jika kita mau menengok karya sastra Bugis Makassar dalam naskah lontara’. Kita akan menemukan pengungkapan yang lebih demokratis dan terbuka. Bagaimana seorang pallontara (juru tulis atau sastrawan) istana lepas dari kutukan atau lolos amarah dari penguasa (raja) hanya karena ia tahu adat-istiadat pemberitaan.

Misalnya saja kita melihat naskah lontara Attoriolong Bone (Bugis) atau Pattudiolong ri Gowaya (Makassar) dengan patuh mengikuti tradisi yang menjadi etika pada zamannya :

            Tania upomabusung

            Tania upomawedda-wedda

            Tekku natula, poada aseng talleba

            Nasekko rumasa sélo-sélo ana’ tolebbi

            Aga kuwasimang mémeng kuinappa lake-lakke

            Wija senrima mangkau.

           

Artinya

            Semoga saya tidak berdosa

            Semoga saya tidak binasa

            Tak kualat menyebut nama yang agung

            Yang dipayungi payung emas anak yang agung

            Kumohon dengan penuh hormat terlebih dahulu untuk membicarakan

            Anak keturunan Bangsawan yang tinggi.

 

   Dengan memenuhi kalimat ritual tersebut di atas, pallontara’ telah bebas mencaci maki dan menyumpah sang penguasa. Kita lihat karya sebuah lontara Attoriolong Bone. Dalam naskah tersebut sang pallontara – juru tulis mencaci maki Raja Bone La Icca, sehingga hampir tak ada satu pun kebaikan Raja Bone VIII ini dalam naskah Attoriolong Bone, dan La Icca diberi gelar Anumerta sebagai Matinroe ri Addenenna 

 

Ritual membuka Naskah Lontara 


Demikian pula dari seorang Pallontara di kerajaan Gowa yang telah memenuhi etika penulisan dalam Lontara Patturiolong ri To Gowaya :

Iangku mabassung

Iangku mawekke-wekke

Angngarengi, ambilang-bilang karaeng rioloa

Lulu gula-gulanga

Assi alakkaya, bulaeng nipanninga

Ratu sikolaka, nikamallakkangnaji

Nikaluppai riana’na

rituribokona

 

Artinya :

Mudah-mudan saya tidak menjadi busung

Mudah-mudahan janganlah saya  binasa

Menyebut dan menghitung-hitung raja masa lampau

Isi gulang-gulangan

Isi palakkaya, emas dilebur

Mata utama meniti

Karena dikhawatirkan 

Dilupakan sama anak-anaknya

Dan kerutunan selanjutnya.

 

Setelah memenuhi etika penulisan itu maka dengan leluasa memuji-muji kehebatan Raja Gowa  X sebagai seorang pemberani, kenamaan dimana-mana, tetapi tidak terpuji sebagai seorang yang berilmu dan juga dalam hal kejujuran ia sama sekali tidak terpuji.

 Pujian, caci maki dan sanjungan dan bahkan ungkapan keburukan Sang Raja dengan jiwa besar diterima oleh raja dan keturunannya. Sejarahpun telah membuktikan bahwa raja senatiasa berlapang dada menerima kenyataan pemberitaan dan persepsi Pallontara terhadap diri. Ia  tidak lantas membakar atau memenjarakan Palontara atas karya-karyanya tersebut, melainkan  Sang Raja menjaga kerahasiaan dan obyektifitas Sang Pallontara dengan membebani nilai sakral pada lontara tersebut sehingga tidak sembarang orang bisa membacanya. Kita  bisa bayangkan salah satu syarat untuk membuka Lontara Attoriolong Bone harus dipotongkan kerbau bertanduk emas dengan jumlah tertentu. Oleh sebab itu, patut diduga bahwa makin tinggi nilai sakral sebuah naskah lontara maka makin tinggi pula tingkat kerahasiaan Sang Raja.

 

Tulisan ini pernah diterbitkan  di harian Fajar taggal 31 Oktober 2020

                                              

Komentar

  1. Tulisan yg kreenn, mengedukasi...berarti pallontarak di jaman kerajaan tempo doeloe lebih merdeka dari sekarang, Pung Aji...
    Faktax naskah Ilagalogo sbg epos terpanjang di dunia dpt ditorehkan, bgt jg dg pallontarak di kerajaan bone dan gowa, ndak ada pembridelan, ato pallontarak yg dipenjara...
    Trims pencerahanta Pung Aji..salamaki tapada salama..tabarakallah��������

    BalasHapus
  2. Tulisan yg kreenn, mengedukasi...berarti pallontarak di jaman kerajaan tempo doeloe lebih merdeka dari sekarang, Pung Aji...
    Faktax naskah Ilagalogo sbg epos terpanjang di dunia dpt ditorehkan, bgt jg dg pallontarak di kerajaan bone dan gowa, ndak ada pembridelan, ato pallontarak yg dipenjara...
    Trims pencerahanta Pung Aji..salamaki tapada salama..tabarakallah👍👍🙏🙏

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer