PROF.
dr. H. SYARIFUDDIN WAHID, Ph. D., Sp.PA(K),. Sp.F
(KETUA
KERUKUNAN KELUARGA SOPPENG)
LAHIR
DI TENGAH BARA PERJUANGAN
Oleh
: H. Andi Ahmad Saransi
Kurang lebih dua belas
kilometer ke arah timur ibu kota Kabupaten Soppeng terdapat sebuah kampung yang
bernama Kampung Awo – Lajoa Kecamatan Liliririaja. Kampung ini terkenal sebagai
basis perjuangan merebut dan membertahankan Indonesia Merdeka di Kabupaten
Soppeng.
Hari itu di kampung Awo –
Lajjoa, tanggal 24 Juli 1944, pada siang hari di rumah sang nenek, Mannauwang, bayi merah
berkelamin laki-laki, muncul dan berteriak “ngeaakkk…!” Bapak Abd Wahid dan Ibu
Mastura sangat bahagia. Impian mendapatkan kelahiran bayi yang sehat terwujud.
Namun Abd Wahid tetap khawatir. Anaknya yang lahir di masa perjuangan,
merupakan beban. Pasalnya, ia harus menjaga anaknya dari berbagai kemungkinan
terburuk. Sementara situasi tidak jelas. Semuanya serba abu-abu. Apalagi,
pemerintahan militer jepang melakukan tekanan, dan janji Jepang sebelum
mendarat telah dilupakan. Mereka berbalik menjadi kasar dan kejam. Disamping
itu mereka sedang mempersiapkan bekal
untuk menghadapi perang sekutu sehingga perekonomian merosot dan sangat sulit
mendapat sandang dan pangan.
Dilain pihak, pemuda-pemuda di Lajoa sibuk mempersiapkan diri
untuk merebut kemerdekaan. Diantara pemuda-pemuda itu termasuk saudara kandung Ibu
Mastura yang tergabung dalam kelompok pemuda pergerakan itu, mereka itu adalah
Muhammad Asaf Mannauwang dan Muslam Mannauwang dan beberapa keluarga dekat
lainnya.
Kelahiran bayi diberi nama
Syarifuddin dengan nama panggilan Pudding, diyakini oleh sang ayah sebagai awal
kebahagiaan yang tak terkira. Ia melihat adanya tanda-tanda yang baik. Sang
bayi keluar tanpa menyulitkan sang Ibu. Hanya
membutuhkan satu jam persiapan setelah Mastura merasa sudah waktunya untuk
melahirkan.
Kalaupun tak ada keajaiban
ataupun hal aneh, bagi Mastura, justru hal itulah yang diharapkan. Baginya sang
putra kelak akan menjadi orang yang berguna bagi agama dan bangsanya. Maka
ketika suaminya megumandangkan azan
untuk menyambut kelahiran Syarifuddin, ia tak gentar walau incaran mata-mata tentara Belanda
senantiasa mengintai kediamannya karena penghuni rumah itu dicurigai sebagai sumber gelora api
perjungan para pemuda di distrik Liliriaja dan Soppeng pada umumnya. Ternyata kecurigaan
itu memang benar, karena kelak di rumah itu sekelompok pemuda membentuk Lasykar
Perjungan Gabungan Pemuda Indonesia Soppeng (GAPIS) pada tanggal 27 Oktober
1945.
Alhamdulillah, sungguh sangat berbahagia karena dari tujuh Puluh Enam Tahun yang lalu,
Syarifuddin yang lahir dari rumah pejuang itu yang akrab kita kenal dengan Ketua Kerukunan
Keluarga Soppeng (KKS) Bapak Prof. Dr. Syarifuddin Wahid, yang separoh perjalanan
hidupnya telah diwakafkan untuk bangsa
dan agama, dan Alhamdulillah beliau
senantiasa dalam keadaan sehat-sehat wal-afiat.
Ketika dia masih mahasiswa
beliau aktif sederet organisasi kemahasiswaan, salah satu misalnya Ikatan
Mahasiwa Pelajar Soppeng (IMPS), dalam kipranya di organisasi ini dia berjuang untuk
memajukan dan menyatukan mahasiwa dan pelajar Soppeng yang berada di Makassar.
Disamping perjuangannya itu beliau juga
dikenal sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah Soppeng yang tidak sejalan
dengan masyarakat banyak. Akibatnya dia pernah menjadi incaran untuk ditangkap
oleh penguasa ketika itu.
Syarifuddin Wahid dalam rapat IMPS
Dari pengalamanya itu telah mematangkan dirinya untuk menghadapi
aktifis mahasiswa ketika dia diangkat sebagai Wakil Rektor III Bidang
Kemahasiswaan UNHAS. Satu pengalaman
yang tak terlupakan saat beliau masih jadi wakil rektor. Tawuran antar Fakultas
di Unhas sudah sering terjadi saat itu terutama antara fakultas “itu” dan
“itu”. Memalukan pastinya. Lapangan di depan perpustakaan pusat adalah salah
satu medan pertempuran paling sengit dimana orang saling melempar batu dan
kejar-kejaran, kadang dengan senjata tajam. Sebutannya jalur Gaza Unhas. Dan
pernah suatu ketika mereka sudah mulai ramai, saling melempar batu. Tapi tak
lama kemudian tiba-tiba terjadi “gencatan senjata” kedua belah pihak berhenti,
tak jadi melemparkan batu-batu yang sudah ada di tangannya. Kenapa? Karena
diantara mereka ada sesesorang yang sudah berambut putih, meminta mereka untuk
berhenti. Dan itu adalah Prof. Syarifuddin Wahid.
Selaku Ketua KKS beliau tak jarang menemui situasi pelik seperti
di atas, misalnya saja ketika PILKADA di Soppeng atau Pemiliihan Gubernur
Sulawesi Selatan yang berlangsung kemarin beberapa pengurus dan anggota KKS mancalonkan
diri. Dalam situasi sulit seperti itu
dia tidak lantas menyeret organisasi ini untuk berpihak pada salah satu calon
tertentu saja, namun sebagai ketua dia senantiasa menempatkan dirinya sebagai
orang tua yang bijak dengan menjadikan KKS sebagai wadah pelangi yang bertabur
kekeindahan. Dimana anggotanya bebas memilih sambil menikmati
keindahan itu dengan penuh nuansa. Alhamdulillah
situasi pelik ini berhasil dilewati dengan menciptakan tata dama dalam tubuh KKS, bukan bertabur kebencian antara sesama warga
KKS.
dalam rangka pegukuhan pengurus KKS di Kalimantan
Gila ya prof kita ini. Hehehe. Tapi ya, beliau sangat dihormati,
dicintai oleh tidak hanya mahasiswa saya kira. Beliau adalah guru dan orang tua
bagi banyak orang dari setiap zaman yang berbeda. Dan keberanian, kharisma
serupa itu saya kira tak mudah ditemukan kecuali pada mereka yang tulus.
“Selamat Ulang Tahun To Malebbiku, Ayahanda Etta Pudding –
Maha Guru Prof. Syarifuddin Wahid, semoga sehat-sehat selalu dan semoga api
perjuanganmu untuk manusia dan kemanusiaan senantiasa menerangi bangsa
ini hingga melintasi generasi dan menjadi
suluh serta dedikasi buat kami semua”. Aaaminnn
Keterangan :
Keterkaitan warga Soppeng dengan calon Gubernur dalam
PIlgub. Sulawesi Selatan tahun 2018:
- Prof. Dr. Nurdin Abdullah, ibu kandungnya orang Soppeng.
- Nurdin Halid, istrinya lahir di Soppeng;
- Ir. Agus Arifin Nummang, istrinya lahir di Soppeng;
- Icshan Yasin Limpo, besanan dengan orang Soppeng, yaitu dari anaknya Pak DR. Syahrul Yasin Limpo nikah dengan anaknya Pak Ir. Lutfi Halide.
Komentar
Posting Komentar