LA
PADOMA DAN I MANGKAWANI
Kisah
Puteri Cantik Bernasib Malang
Oleh : H. Andi Ahmad Saransi
(foto ilustrasi)
Tersebutlah
cerita pada zaman dahulu kala, tentang La Padoma seorang pemuda, putera tunggal Arung Mangkau’ Bone. Selain
berparas tampan, ia gagah perkasa hingga tak heran jika menjadi pujaan
gadis-gadis muda belia. Namun para gadis pemuja itu tak pelak harus bertepuk
sebelah tangan, terpaksa menanggung kecewa
karena La Padoma telah dijodohkan oleh keluarganya dengan I Mangkawani,
seorang gadis yang sangat elok parasnya, rupawan tiada taranya di
bawah kolong langit pada saat itu.
Pada
waktu mapettu ada - prosesi pelamaran untuk meneguhkan
perjodohan La Padoma terhadap I Mangkawani, dibawalah perangkat antar-antaran kerajaan
lengkap dengan sirih pinang dan barang-barang lainnya. Antaran diserahkan sebagaimana
yang sudah disepakati bersama di hadapan para pembesar dan disaksikan oleh
Dewata Séuwa é.
Setelah
tujuh hari penetapan perjodohan mereka berlalu, tibalah undangan dari Datu
Pattuku, sepupu La Padoma, untuk pergi menyabung ayam jago di Kahu. Karena
menyabung ayam adalah acara kegemaran La Padoma, sehingga ia menyambut gembira
undangan itu. Bergegas ia meminta izin kepada ibunya. Ibunya pun tak dapat
menampik permintaan putra tunggal anak kesayangannya, hanya berpesan; “Hati-hatilah,
Nak, sebab orang yang sedang bertunangan itu, biasanya berada dalam keadaan arapo-raponna - rawan. Bisa saja terjadi
halangan dan rintangan. Pandai-pandailah engkau menjaga diri.”
“Jangan
khawatir Indo’, Anakmu akan menjaga diri”
Janji La Padoma kepada bundanya
sebelum pergi.
***
Sesampainya
La Padoma di Kahu, mulailah segala persiapan perhelatan dilakukan. Setelah bermalam semalam, barulah gelanggang
penyabungan selesai dibuat, siap dipakai. Setelah usai beberapa penyabungan
ayam sebagai pembuka, barulah disabung antara ayam milik La Padoma melawan ayam
Datu Pattuku. Pertarungan dua ayam jago pilihan itu berlangsung seru, ditengah
sorak sorai penonton yang menyaksikan.
Pada
saat persabungan ayam sedang sengit berlaga, saudara perempuan Datu Patukku terlihat
menjenguk dari jendela. Seketika itu La Padoma bangkit, bertautlah pandanglah
keduanya. Hati keduanya saling terpesona dan terpikat. Peristiwa itu membuat La
Padoma tidak menghiraukan lagi pertarungan ayamnya. Pikirannya semata hanya
bertaut pada si perempuan cantik yang baru saja dilihatnya. Tautan matanya
lekat memperhatikan si cantik terus-menerus.
Menyaksikan
kejadian itu akhirnya Datu Patukku berkata: ”Jika adinda ada hasrat beristri,
kembalilah dahulu ke Bone lalu mengirim duta kemari. Kalau ada orang Kahu yang
berani menolak, nanti kitalah yang mengikat janji.” Hal itu tidak dihiraukan La
Padoma, akibatnya kalahlah ayamnya dalam persabungan. Setelah penyabungan usai,
La Padoma memohon kepada sepupunya agar ia diperkenankan menginap semalam lagi di
istana. Permintaannya itu dikabulkan.
Pada
waktu malam beranjak larut, Tiba-tiba La Padoma digoda niat jahat. Dengan nekad
mallolo’, - diam-diam ia mengendap memasuki
bilik saudara perempuan Datu Pattuku. Ia berharap tak ada seorang pun yang
menyaksikan tingkahnya, karena dianggapnya orang-orang tentu telah lelah karena
seharian menyaksikan acara sabung ayam.
Ternyata
kejadian itu terlihat oleh Datu Pattukku karena ia sempat melihat panau pinceng
- panu yang seperti bersinar di dalam gelap, sebagaimana yang ada di kulit La
Padoma. Di tegurlah sepupunya itu dengan suara berbisik. Datu Patukku mengingatkan apa yang sudah
disampaikan kepadanya di dalam gelanggang sabung ayam siang tadi. Tetapi La
Padoma tidak menghiraukan teguran itu. Ia tetap saja asyik masyhuk di dalam
bilik. Datu Patukku naik pitam, maka ditunggui sepupunya itu di depan bilik.
Ketika La Padoma beranjak diam-diam hendak keluar pada waktu dini hari, ditikamnya
La Padoma dengan keris pusaka kerajaan Kahu. La Padoma pun balik, balas menikam,
tetapi tidak mengena sasaran, malah yang terkena ialah genderang Kerajaan Kahu.
Sesudah itu La Padoma pun rebah dan menghembuskan napasnya yang terakhir. Gendang
keramat yang tertusuk robek akibat tikaman badik La Padoma, lalu mendengung terus-menerus
meski tanpa ditabuh selama tiga tahun.
Datu
Pattuku lalu mengirim utusan untuk mengabari kepada masyarakat Bone tentang
kematian La Padoma. Setelah perutusan itu sampai di hadapan Arung Mangkau’
Bone, datang bersembahlah ia, sambil berkata; “Mohon ampun Tuanku, La Padoma
tiada disangka, telah mati ditikam oleh Datu Pattuku.”
Arung
Mangkau’ Bone merasa berduka cita, tetapi tidak langsung percaya, dan bertanya:
“Apa gerangan yang menjadi alasan hingga Putra tunggalku sampai harus mati
demikian tragis. Apalagi ditikam Datu Pattuku yang masih dapat dikatakan anak
saya sendiri.”
Setelah
jenazah benar-benar diantar sampai di halaman istana, barulah ia percaya kejadian
naas menyayat itu. Anak Pattola kesayangannya telah tiada lagi di dunia fana.
Melihat
kejadian itu, dengan hati sedih Arung Mangkau’ Bone berkata:”Siapakah diantara
sanak keluargaku yang akan membalaskan sakit hati ini. Utang darah kematian La
Padoma, mesti dibayar darah.”
Mendengar
pernyataan Arung Mangkauk’ itu, tergugahlah hati Datu Soppeng yang juga merupakan
sepupu La Padoma dari pihak lain. Ia menyatakan kesediaannya untuk menuntaskan
dendam keluarga amurena- pamannya.
Datu
Soppeng mempersiapkan diri dan memohon restu keluarga Arung Mangkauk. Ia pun
berangkat ke Kahu dengan langkah pasti sambil membawa tombak sakti miliknya.
Kebetulan sekali pada saat dia tiba didepan istana, Datu Pattuku pun sedang
melangkah turun dari tangga rumahnya. Datu Soppeng tidak membuang kesempatan lagi,
langsung menombaknya. Tepat mengenai dada Datu Pattuku yang mengakibatkan perlahan
rubuhlah ia dari tangga hingga terguling ke tanah. Gemparlah Kerajaan Kahu akibat
kejadian itu. Apalagi pembunuh Datu Pattuku, sudah raib dari tempat kejadian.
Usai
menuntaskan tugasnya, pulanglah Datu Soppeng ke Bone dan segera menyampaikan
berita itu kepada pamannya, Arung Mangkau’. Selanjutnya, masih dalam suasana
duka Arung Mangkau’ segera mengirimkan utusan untuk menyampaikan kabar duka
keluarganya, tentang kematian La Padoma kepada tunangannya, I Mangkawani.
Setelah
perutusan itu menyampaikan apa yang ditugaskan kepadanya, l Mangkawani bersama
keluarganya pun diliputi oleh perasaan nestapa. Sedih, mengingat
pertunangan mereka baru saja berlangsung seminggu. Karena kematian La Padoma
semua impian dan harapan musnah, buyar tak mungkin dilanjutkan lagi. Dalam
putus asa I Mangkawani berniat, membuang harta yang dimilikinya atau diberikan
kepada orang lain, karena tak lagi mampu menanggung sedih dan malu menjadi
janda sebelum kawin.
Salah
seorang diantara keluarga I Mangkawani kemudian ada yang menyarankan agar ia
pergi saja berlayar ke negeri yang jauh untuk membuang duka dan malu. Setelah saran
itu disetujui maka dipersiapkanlah pembuatan perahu untuk mengangkut barang-barangnya
yang masih tersisa, lalu siaplah pelayaran I Mangkawani,
Sewaktu
perahunya yang megah siap di pelabuhan Bone, dilihatnya rakyat Bone sudah
berkumpul dan sedang menunggu kedatangan I Mangkawani ke naik ke perahunya. Mereka
ternyata sudah mendapat kabar lebih awal, tentang niatan I Mangkawani.
Bermohonlah
mereka kepada I Mangkawani, seraya berkata; ”Karena engkau berniat hendak
membuang segala yang ada padamu, maka kami memohon kiranya kami dapat diberi warisan
ilmu keberanian yang engkau miliki.”
“Baik,
terima dan pergunakanlah sebaik-baiknya menurut keperluan kalian” Pesan I
Mangkawani sebelum pergi berlayar lagi. Orang-orang Bone menyambut pemberiannya
dengan sukacita dan mengantarkan keberangkatan perahunya melintasi perairan
teluk ke arah utara.
Berselang
kemudian sampailah perahu I Mangkawani di pelabuhan Wajo. Di dapatinya disana,
orang Wajo juga sedang berkumpul. Mereka pun sudah mengetahui maksud perjalanan
I Mangkawani yang berniat membuang segala hartanya. Maka mereka pun meminta
kekayaan dan ilmu menjadi kaya.
Kepada
orang-orang Wajo I Mangkawani berpesan; “Terima dan pergunakanlah kekayaan dan
ilmu kekayaan kalian sebaik-baiknya, menurut keperluan” Kemudian perahunya pergi
berlayar lagi.
Sesampainya
di Soppeng. Di sana didapatinya pula orang-orang Soppeng yang sedang berkumpul.
Mereka meminta ilmu kepintaran kepada I Mangkawani.
“Baik,
kalian terimalah dan ilmu kepintaran dan pergunakanlah ilmu kalian itu sebaik-baiknya,
menurut keperluan” Pesan I Mangkawani, setelah itu melanjutkan kembali
perjalanan perahunya entah kemana tujuan akhirnya.
***
Demikianlah
kisahnya, sebagaimana pernah diceritakan oleh orang-orang dulu.
Itulah
sebabnya kata orang dulu, orang Bone itu pemberani, orang Wajo kaya, dan
sebagian besar orang Soppeng pintar.
Konon,
peristiwa tragis itulah sebabnya mengapa sekarang tidak ada lagi laki-laki Bugis
yang memiliki pano pinceng, karena tanda keramat itu telah dibawa mati oleh La
Padoma. Demikian pula dengan harta kekayaan I Mangkawani sang Puteri yang
bernasib malang. Semua harta telah yang dibuang habis di sepanjang perjalanan,
ada yang berubah menjadi tanaman, ada yang menjadi binatang. Entahlah.
Daftar Istilah
Mapettu ada : Prosesi pelamaran
Dewata SeuwaE : Tuhan Yang Maha Kuasa
Pano pinceng :
Tanda lahir berupa panu yang nampak sisik berkilat dan bersinar
Amure : Pamannya
Komentar
Posting Komentar