DI SULAWESI SELATAN
Jauh di abad lampau orang-orang Arab telah menjelajah
pulau-pulau di Nusantara. Sejak abad ke-9 Masehi terdapat catatan-catatan dalam
tulisan Arab tentang suatu “Kepulauan di Bawah Angin” yang biasa didatangi para
pedagang, nakhoda, dan navigator. Mereka datang mencari rempah-rempah dan hasil
hutan, mereka adalah pedagang-pedagang sejati yang berlayar menembus gelombang tidak
hanya mencari keuntungan dan dunia baru, tetapi juga membawa tugas amat suci
menyebarkan agama Islam, sebab dalam pelayaran pajang mereka turut pula bersama
jalur kegiatan dagang ini para da’i (ulama), penganjur agama Islam.
Seiring dengan itu tumbuh pula kerajaan maritim Islam di alam Melayu, Malaka,
Johor, Patani, Riau, Pontianak, Cirebon, Mampawa, Ternate, dan Gowa (Sulawesi
Selatan).
Seorang ulama Arab yang bernama Jamaluddin al-Husain
al-Akbar datang ke Indonesia bersama keluarganya lewat Kamboja. Jamaluddin
singgah di Aceh dan Jawa, kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi
Selatan. Jamaluddin memilih Tosora (Wajo) sebagai tempat tinggalnya dan ia
meninggal disana. Di Jawa, ia lebih dikenal dengan panggilan Jamaluddin Kubra.
Menurut Graff (1985 : 19-20), Jamaluddin Kubra adalah ulama dan wali lagendaris,
dan disebut juga ulama suci, ia juga digelar Wajuk Makassar (Chehab, 1975 :
15-16).
Kapan Jamaluddin Akbar masuk ke Sulawesi Selatan tidak
diperoleh keterangan yang jelas, tetapi jika diperhatikan silsilah Wali Songo
(Wali Sembilan) di Jawa, ternyata garis silsilah keturunan mereka bertemu pada
Jamaluddin Akbar. Malik Ibrahim adalah ulama tertua dari Wali Songo. Ia cucu
Jamaluddin Akbar (Malik Ibrahim bin barakat Zain Alam bin Jamaluddin Akbar). Ia
dikebumikan di Gresik, dan pada batu nisannya tertulis tahun 1419, yaitu tahun
kematiannya. Dari keterangan di atas, dapat diperkirakan bahwa Jamaluddin Akbar
masuk ke Sulawesi Selatan (Wajo) pada pertengahan abad ke-14.
Ajang Islamisasi
masyarakat pra-Islam di Sulawesi Selatan sudah memiliki
kepercayaan yang mereka anut secara lokal yakni percaya kepada arwah nenek
moyang dan kekuatan-kekuatan gaib. Dasar-dasar kepercayaan kepada kekuatan gaib
dan roh leluhur telah meresapi seluruh kehidupannya, baik kehidupan manusia
sebagai individu maupun kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya,
pikiran dan tingkah laku senantiasa bertumpu kepada aturan-aturan pencapaian
serta pemanfaatan unsur-unsur kekuatan gaib dari alam semesta dan roh nenek
moyang, sehingga kepercayaan tersebut kadang disebut dengan Attoriolong (Harun Kadir, dkk., 1987:
8) Perlakuan yang baik, harmonis, dan
teratur pada upacara-upacara ritual yang bersifat magis religus itu bertujuan
untuk mencapai ketentraman kehidupan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Oleh
karena itu pada upacara kematian diadakan penyembelihan kerbau yang dianggap
sebagai perlindungan terhadap arwah orang yang meninggal dunia dan juga berfungsi
sebagai kendaraan menuju ke dunia arwah.
Mereka percaya pula kepada gunung tertinggi sebagai
tempat istimewa. Gunung
dianggap sebagai tempat roh nenek moyang dan tempat para dewa. Di Sulawesi
Selatan, beberapa gunung yang dianggap keramat ialah Gunung Bawakaraeng, Bulu
Saraung, Seseang dan Bambapuang.
Selain itu, mereka mempunyai kepercayaan yang
kuat dan mendalam terhadap mitos I La Galigo, dengan konsep kepercayaan
ketuhanannya pada Déwata
Seuwaé (Patotoé) yang oleh masyarakat Luwu mereka mengenal dengan nama
agama Sawerigading. Mitos I La Galigo ini mempunyai sumber-sumber ajaran yang
disebut Sure’ Selléang (surE sEela) atau Sure’ Galigo (surE gligo).
Sure’
yang biasa diartikan sebagai catatan atau cerita ini mengisahkan tentang awal
mula kejadian orang pertama dan alam Bugis. La Galigo merupakan salah satu
tokoh sentral dalam motologi tersebut yang merupakan generasi keempat dari
manusia pertama (mulatau) yakni
Batara Guru putra PatotoE (Dewa penguasa Langit atau Botinglangi’). Selain
itu juga dipaparkan tata cara dan pola
kehidupan serta tradisinya.
Mitologi ini pula menjadi petunjuk atau pedoman
keberagamaan orang Bugis pada masa lalu. Dunia dewa-dewa yang patut dipuja
serta nenek moyang mereka pantas untuk dihormati dilukiskan dalam mitos tersebut.
Bahkan cerita yang disakralkan itu juga menceritakan tentang bagaimana
upacara-upacara ritual dilakukan.
Masyarakat Bugis sangat percaya terhadap ajaran-ajaran
ini sebagai kenyataan sejarah, pandangan hidup, perangkat nilai, aturan dan
pengetahuan. Sure’ Galigo bagi orang
Bugis lebih dalam artinya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Matthes (dalam
Kern, 1993 : 9), bahwa orang menggantungkan kekuasaan gaib pada syair I La
Galigo, sehingga apabila misalnya ada orang sakit, ahli-ahli pengobatan dalam
masyarakat membacakan baginya sebahagian dari syair tersebut sebagai permohonan
doa. Sampai saat inipun pemberian nilai
sakral terhadap sure’ I La Galigo ini masih dapat kita temukan di pedalaman
Sulawesi Selatan.
Para ahli mengakui bahwa naskah sure’ I La Galigo ditulis
sebelum kedatangan agama Islam di Sulawesi Selatan. Salah satu perkiraan yang
ada, ialah sure’ I la Galigo itu berasal dari zaman sebelum agama Islam menjadi
anutan rakyat di Sulawesi Selatan, yaitu sebelum tahun 1600, seperti pendapat Kern
dibawah ini :
Di mana
kini syair I La Galigo tidak hanya memperkatakan Luwu, akan tetapi menarik pula
semua tempat-tempat pemukiman orang Bugis dalam cakrawalanya dan berbicara
dengan nada yang sama semua negeri itu, maka kejadiannya hanyalah mungkin di
masa Islam daerah-daerah itu masih merupakan sesuatu yang sama sekali belum
dikenal. Oleh karena tidak ada sama sekali sesuatu jejak pengaruh Islam yang
ditemukan didalamnya. Pengislaman di Sulawesi Selatan di sekitar tahun 1600,
jadi syair I La Galigo, sekurang-kurannya bahagiannya yang penting, tentulah
sebelumnya itu sudah tercipta. …., maka
asal usul syair I La Galigo niscaya jauh sebelum masa kedatangan agama Islam ke
daerah ini. (Kern, 1993 : 6).
Pendapat yang
lain berasal dari R. F. Mills (dalam Fachruddin, 1999 : 29) yang memperkirakan waktu penulisan Galigo
pada awal abad ke-14. Dasar perhitungannya ialah peristiwa-peristiwa yang ada
dalam berbagai mitos dapat ditetapkan kejadiannya pada pertengahan abad ke-15
atau akhir abad ke-14. Karena mitos I La Galigo itu sendiri menunjuk I La
Galigo sebagai pendahulunya dan menyatakan bahwa sesudah keturunan I La Galigo
habis naik ke langit, maka terjadilah kekacauan beberapa tahun lamanya. Dengan
dasar pendekatan yang digunakan Mills, ialah kaitan antara kehadiran beberapa
kerajaan yang tersebut dalam mitos dengan penulisan Galigo, sebab menurut Mills
yang menciptakan sure’ I La Galigo adalah dinasti peletak dasar
kerajaan-kerajaan itu...
Bersambung
alhamdulillah
BalasHapussaya sangat tertarik dengan artikel ini dan mudah-mudahan sambungan dari tulisan ini, lebih mengupas inti perjuangan beliau, serta kemurnian ajaran yang dibawakannya, tentunya lebih menggali lagi perjalanannya
BalasHapusDgn adanya tulisan menambah pengetahuan dan bahan pustaka. Sangat ditunggu kelanjutannya....
BalasHapusTrims ulasannya Pung..sangat mencerahkan..in syaa Allah mabbarakka
BalasHapus