JEJAK ISLAMISASI SYEKH JAMALUDDIN AL-HUSAIN AL-AKBAR 
DI SULAWESI SELATAN
Oleh : H. Andi Ahmad Saransi
Naskah Lontara I La Galigo
Indonesia merupakan kawasan yang terdiri atas ribuan pulau-pulau besar dan kecil yang membentang di antara dua samudera, Laut Cina dan laut Hindia. Kawasan ini tidak hanya menjadi pertemuan arus bagi dua samudera secara geografis, tetapi juga menjadi pertemuan berbagai kebudayaan antar bangsa sejak berabad-abad lampau. Berbagai tradisi, sistem, adat istiadat, agama dan aliran kepercayaan bertemu di kawasan Nusantara. Berbagai suku bangsa berdatangan di kawasan ini dengan berbagai kepentingan, yang silih berganti meninggalkan sejarah dan memberi warna bagi resam yang tumbuh di kawasan Nusantara Indonesia..
Jauh di abad lampau orang-orang Arab telah menjelajah pulau-pulau di Nusantara. Sejak abad ke-9 Masehi terdapat catatan-catatan dalam tulisan Arab tentang suatu “Kepulauan di Bawah Angin” yang biasa didatangi para pedagang, nakhoda, dan navigator. Mereka datang mencari rempah-rempah dan hasil hutan, mereka adalah pedagang-pedagang sejati yang berlayar menembus gelombang tidak hanya mencari keuntungan dan dunia baru, tetapi juga membawa tugas amat suci menyebarkan agama Islam, sebab dalam pelayaran pajang mereka turut pula bersama jalur kegiatan dagang ini para da’i (ulama), penganjur agama Islam. Seiring dengan itu tumbuh pula kerajaan maritim Islam di alam Melayu, Malaka, Johor, Patani, Riau, Pontianak, Cirebon, Mampawa, Ternate, dan Gowa (Sulawesi Selatan).
Seorang ulama Arab yang bernama Jamaluddin al-Husain al-Akbar datang ke Indonesia bersama keluarganya lewat Kamboja. Jamaluddin singgah di Aceh dan Jawa, kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan. Jamaluddin memilih Tosora (Wajo) sebagai tempat tinggalnya dan ia meninggal disana. Di Jawa, ia lebih dikenal dengan panggilan Jamaluddin Kubra. Menurut Graff (1985 : 19-20), Jamaluddin Kubra adalah ulama dan wali lagendaris, dan disebut juga ulama suci, ia juga digelar Wajuk Makassar (Chehab, 1975 : 15-16).                
Kapan Jamaluddin Akbar masuk ke Sulawesi Selatan tidak diperoleh keterangan yang jelas, tetapi jika diperhatikan silsilah Wali Songo (Wali Sembilan) di Jawa, ternyata garis silsilah keturunan mereka bertemu pada Jamaluddin Akbar. Malik Ibrahim adalah ulama tertua dari Wali Songo. Ia cucu Jamaluddin Akbar (Malik Ibrahim bin barakat Zain Alam bin Jamaluddin Akbar). Ia dikebumikan di Gresik, dan pada batu nisannya tertulis tahun 1419, yaitu tahun kematiannya. Dari keterangan di atas, dapat diperkirakan bahwa Jamaluddin Akbar masuk ke Sulawesi Selatan (Wajo) pada pertengahan abad ke-14.

Ajang Islamisasi
masyarakat pra-Islam di Sulawesi Selatan sudah memiliki kepercayaan yang mereka anut secara lokal yakni percaya kepada arwah nenek moyang dan kekuatan-kekuatan gaib. Dasar-dasar kepercayaan kepada kekuatan gaib dan roh leluhur telah meresapi seluruh kehidupannya, baik kehidupan manusia sebagai individu maupun kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya, pikiran dan tingkah laku senantiasa bertumpu kepada aturan-aturan pencapaian serta pemanfaatan unsur-unsur kekuatan gaib dari alam semesta dan roh nenek moyang, sehingga kepercayaan tersebut kadang disebut dengan Attoriolong (Harun Kadir, dkk., 1987: 8)  Perlakuan yang baik, harmonis, dan teratur pada upacara-upacara ritual yang bersifat magis religus itu bertujuan untuk mencapai ketentraman kehidupan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu pada upacara kematian diadakan penyembelihan kerbau yang dianggap sebagai perlindungan terhadap arwah orang yang meninggal dunia dan juga berfungsi sebagai kendaraan menuju ke dunia arwah.
Mereka percaya pula kepada gunung tertinggi sebagai tempat istimewa. Gunung dianggap sebagai tempat roh nenek moyang dan tempat para dewa. Di Sulawesi Selatan, beberapa gunung yang dianggap keramat ialah Gunung Bawakaraeng, Bulu Saraung, Seseang dan Bambapuang.
  Selain itu, mereka mempunyai kepercayaan yang kuat dan mendalam terhadap mitos I La Galigo, dengan konsep kepercayaan ketuhanannya pada Déwata Seuwaé (Patotoé) yang oleh masyarakat Luwu mereka mengenal dengan nama agama Sawerigading. Mitos I La Galigo ini mempunyai sumber-sumber ajaran yang disebut Sure’ Selléang (surE sEela) atau Sure’ Galigo (surE gligo).  Sure’ yang biasa diartikan sebagai catatan atau cerita ini mengisahkan tentang awal mula kejadian orang pertama dan alam Bugis. La Galigo merupakan salah satu tokoh sentral dalam motologi tersebut yang merupakan generasi keempat dari manusia pertama (mulatau) yakni Batara Guru putra PatotoE (Dewa penguasa Langit atau Botinglangi’). Selain itu juga  dipaparkan tata cara dan pola kehidupan serta tradisinya.
Mitologi ini pula menjadi petunjuk atau pedoman keberagamaan orang Bugis pada masa lalu. Dunia dewa-dewa yang patut dipuja serta nenek moyang mereka pantas untuk dihormati dilukiskan dalam mitos tersebut. Bahkan cerita yang disakralkan itu juga menceritakan tentang bagaimana upacara-upacara ritual dilakukan.    
Masyarakat Bugis sangat percaya terhadap ajaran-ajaran ini sebagai kenyataan sejarah, pandangan hidup, perangkat nilai, aturan dan pengetahuan. Sure’ Galigo bagi orang Bugis lebih dalam artinya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Matthes (dalam Kern, 1993 : 9), bahwa orang menggantungkan kekuasaan gaib pada syair I La Galigo, sehingga apabila misalnya ada orang sakit, ahli-ahli pengobatan dalam masyarakat membacakan baginya sebahagian dari syair tersebut sebagai permohonan doa.  Sampai saat inipun pemberian nilai sakral terhadap sure’ I La Galigo ini masih dapat kita temukan di pedalaman Sulawesi Selatan.
Para ahli mengakui bahwa naskah sure’ I La Galigo ditulis sebelum kedatangan agama Islam di Sulawesi Selatan. Salah satu perkiraan yang ada, ialah sure’ I la Galigo itu berasal dari zaman sebelum agama Islam menjadi anutan rakyat di Sulawesi Selatan, yaitu sebelum tahun 1600, seperti pendapat Kern dibawah ini :
Di mana kini syair I La Galigo tidak hanya memperkatakan Luwu, akan tetapi menarik pula semua tempat-tempat pemukiman orang Bugis dalam cakrawalanya dan berbicara dengan nada yang sama semua negeri itu, maka kejadiannya hanyalah mungkin di masa Islam daerah-daerah itu masih merupakan sesuatu yang sama sekali belum dikenal. Oleh karena tidak ada sama sekali sesuatu jejak pengaruh Islam yang ditemukan didalamnya. Pengislaman di Sulawesi Selatan di sekitar tahun 1600, jadi syair I La Galigo, sekurang-kurannya bahagiannya yang penting, tentulah sebelumnya itu sudah tercipta.  …., maka asal usul syair I La Galigo niscaya jauh sebelum masa kedatangan agama Islam ke daerah ini. (Kern, 1993 : 6).   

Pendapat yang lain berasal dari R. F. Mills (dalam Fachruddin, 1999 : 29)  yang memperkirakan waktu penulisan Galigo pada awal abad ke-14. Dasar perhitungannya ialah peristiwa-peristiwa yang ada dalam berbagai mitos dapat ditetapkan kejadiannya pada pertengahan abad ke-15 atau akhir abad ke-14. Karena mitos I La Galigo itu sendiri menunjuk I La Galigo sebagai pendahulunya dan menyatakan bahwa sesudah keturunan I La Galigo habis naik ke langit, maka terjadilah kekacauan beberapa tahun lamanya. Dengan dasar pendekatan yang digunakan Mills, ialah kaitan antara kehadiran beberapa kerajaan yang tersebut dalam mitos dengan penulisan Galigo, sebab menurut Mills yang menciptakan sure’ I La Galigo adalah dinasti peletak dasar kerajaan-kerajaan itu...
Bersambung 

Komentar

  1. saya sangat tertarik dengan artikel ini dan mudah-mudahan sambungan dari tulisan ini, lebih mengupas inti perjuangan beliau, serta kemurnian ajaran yang dibawakannya, tentunya lebih menggali lagi perjalanannya

    BalasHapus
  2. Dgn adanya tulisan menambah pengetahuan dan bahan pustaka. Sangat ditunggu kelanjutannya....

    BalasHapus
  3. Trims ulasannya Pung..sangat mencerahkan..in syaa Allah mabbarakka

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer