TRADISI  PEMAKAIAN SONGKOK ADAT (SONGKOK RECCA)*

Oleh : H. Andi Ahmad Saransi

(La Pawowoi Karaeng Sigeri Raja Bone ke 31)



Presiden Soekarno dgn Sultan Buton


Songkok pamiring 


Kebudayaan merupakan sebuah identitas dari setiap kelompok manusia. Dimana kelompok manusia memiliki ciri khas kebudayaannya masing-masing. Kebudayaan timbul dari kebiasaan yang dilakukan oleh dan akan menjadi sebuah tradisi apabila kebudaayaan tersebut telah ada serta dilestarikan oleh generasi berikutnya. Dengan kata lain kebudayaan tersebut merupakan turunan dari kebiasaan yang dilakukan oleh nenek moyang terdahulu dan sekarang masih dilaksanakan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Setiap kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari makna atau nilai-nilai dalam sebuah simbol yang ada pada sebuah kebudayaan. Dari setiap makna tersebut sangat mempengaruhi tingkah laku dari pemiliki kebiasaan itu..

Manusia sebagai makhluk simbolik, karena kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari simbol-simbol dan simbol ini akan mengandung berbagai makna tergantung pada persepsi setiap orang, sebab manusia tidak bertindak terhadap sesuatu melainkan berdasarkan makna yang dapat diinterpretasikannya. Dengan demikian fungsi dari simbol terletak pada seseorang yang bersangkutan, seperti mengantongi potongan daun lontar bagi orang Bugis yang meyakini bahwa sangat ampuh untuk melindungi dari perbuatan-perbuatan jahat. Oleh sebab itu simbol tidaklah berdiri atau ada dengan sendirinya, simbol diciptakan dengan mempunyai tujuan yang hendak di informasikan kepada orang yang melihat simbol itu sendiri.

.

Sehubungan dengan hal tersebut perlu kita  mencari makna mengenai kewajiban memakai songkok adat bagi setiap PNS/Honorer/PHTL (Pria) lingkup Pemkap Soppeng dan karyawan BUMD saat melaksanakan tugas pada setiap hari kamis tanpa muatan eselonisasi  sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Bapak Bupati Soppeng Nomor 39/BKPSDM/2019 tanggal 16 Januari 2019

Songkok Adat (songkok recca)

Semula songkok adat ini memiliki tiga sebutan berbeda yang merujuk pada proses pembuatan, bahan, atau pun nilai historis. Pertama, penamaan Songkok Recca biasanya merujuk pada proses pembuatan atau bahan baku yang digunakan untuk membuat songkok tersebut. Dimana bahan yang digunakan terbuat dari pelepah daun lontar yang ditumbuk dalam istilah bugis hal tersebut dinamakan direcca;  Penamaan Songkok Pamiring merujuk pada ujung atau sisi bagian bawah songkok yang berhias warna keemasan. Apabila bagian bawah berhias benang emas, maka sebutannya Songkok Pamiring, namun apabila menggunakan emas sungguhan, maka sebutannya Songkok Pamiring Ulaweng (songkok berpinggir emas); Penamaan terakhir yaitu Songkok To Bone, biasanya merujuk kepada penamaan yang banyak diucapkan oleh orang-orang luar Bone, Sulawesi Selatan. Hal ini terkait dengan sejarah pembuat atau pun pemakai songkok itu sendiri adalah orang-orang Bone.

Kapankah songkok adat ini mulai diciptakan?  Salah  satu pijakan awal yang bisa dijadikan dasar adalah pada periode pemerintahan We Fatimah Banri raja Bone ke 30 (1871 – 1895). Disebutkan dalam catatan sejarah bahwa pada masa pemerintahan beliau terjadi perang di Toraja antara pedagang kopi dari aliansi Sidenreng - Sawitto dengan aliansi pedagang kopi dari Luwu - Bone. Perang ini terkenal dengan nama perang kopi (1889 – 1890). Karena aliansi pedagang kopi dari Luwu -  Bone sudah terdesak dari aliansi pedagang kopi Sidenreng - Sawitto maka dalam perang kopi tersebut datanglah ke Tana Toraja pasukang kerajaan Bone yang dipimpin langsung oleh panglima perangnya yang  bernama Petta Ponggawae La Pawowowi (saudara kandung We Fatima Banri) untuk membantu Pedagang-pedagang dan tentaranya yg sudah mendapat tekanan.

Kedatangan pasukan Petta Ponggawae ke Tana Toraja itu terkenal dalam sejarah Toraja dengan masuknya Songko’ Barrong (Topi merah) karena semuanya memakai topi merah.  Pemakaian songkok ini memiliki muatan religus  untuk menangkal roh-roh jahat yang dapat mengganggu pasukan kerajaan Bone pada saat itu. Mengenai bentuk topi merah itu dan bagaimana bahannya tidak diperoleh informasi. Namun nanti kelihatan bentuk dan bahannya pada tahun 1905  sebagaimana songkok adat yang dipakai oleh raja Bone ke-31 La Pawawoi Karaeng Sigeri (1895 – 1905). Dimana bentuknya tidak terlalu tinggi dan tengahnya berbentuk lancip (mirip songkok Turki). Sedangkan  benang emas yang dipergunakan kelihatannya tidak terlalu tebal /tinggi.   

Seiring dengan perkembangnnya, pada  masa pemerintahan Raja Bone ke 32 Andi Mappanyukki (1931 – 1946) terjadi perubahan yang sangat mendasar, perubahan itu dapat dilihat, dari segi ukurannya sudah berubah menjadi agak tinggi begitupun juga benang emasnya. Sedangkan  bagian tengahnya mengalami pula perubahan, semula bentuknya lancip sekarang menjadi rata. Sedangkan  pemakainya tidak terbatas lagi pada suku dan daerah  tertentu saja tetapi sudah dijadikan simbol songkok adat di Sulawesi Selatan Tenggara walaupun namanya berbeda-beda.  Seperti dikalangan kalangan bangsawan Mandar songkok ini dikenal dengan nama songkok biring begitupun bagi kalangan bangsawan Makassar dikenal dengan nama Songkok Guru bahkan kesultanan Buton memakainya pula sebagai songkok adat.

Aturan Pemakaiannya  

Mengenai aturan pemakaian songkok recca ini, untuk bangsawan tinggi – maddara takku – (berdarah biru), anak mattola, atau arung matasa; dapat menggunakan songkok recca yang seluruhnya terbuat dari emas murni (ulaweng bubbu); bagi bangsawan lainnya diperkenangkan memakai songkok recca dengan lebar emasnya tiga perempat dari tinggi songkok recca tersebut. Bagi Arung Matola Menre, anakarung manrapi, anakarung sipue dapat memakai songkok recca dengan lebar emasnya seperempat dari itnggi songkok recca.

Sementara Arung Lili yang bernaung dibawah panji kerajaan Tellu Bocco (Bone, Luwu dan Gowa), baik lili passiajingeng maupun lili riala bessi dapat memakai songkok recca perak. Songkok ini sama dengan songkok recca di atas, hanya hiasan yang ada disana bukan dari emas, melainkan perak, dan seperti pemakaian songkok recca berhiaskan emas dan tinggi rendahnya hiasan emasnya sesuai dengan derajat Arung Lili yang bersangkutan.

Sedangkan golongan tau deceng, tau maradeka, dan tau sama dapat memakai songkok recca dengan pinggiran emas, sedangkan golongan ata sama sekali tidak diperkenankan memakai songkok pamiring. Persolan aturan pemakaiannya mungkin gampang-gampang susah diterapkan dewasa ini, karena sudah banyak dijual songkok adat yang hiasannya emas palsu.

Makna

Memaknai tradisi pemakaian songkok adat  (songkok recca) secara tersurat bermakna sebagai bentuk pelestarian dalam rangka menjadikan Soppeng sebagai benteng budaya. Disamping itu, secara tersirat pula bermakna nilai religius, nilai adat serta nilai kemasyarakatan. Simbol yang ada pada songkok adat (songok recca) yakni daun lontar sebagai symbol religius,  benang logam mulia berwarna kuning (emas) atau putih (perak) sebagai simbol status sosial.

Mengakhiri tulisan ini, menarik  untuk disimak mengenai pesan Raja Bone  La Pawawoi Karaeng Sigeri kepada pasukannya ketika akan diasingkan ke Jawa, “niga-niga natoppoi songko’ (recca) naninirini gau salaé sibawa pappésangkana Alla Taala”. (barangsiapa memakai songkok (recca) mereka senantiasa menghidarkan diri dari perbuatan tercela begitupun larangan Allah Subhana Wataala). Sepadan dengan itu, dapat disimpulkan pula bahwa sesungguhnya makna terdalam dari hadirnya Surat Edaran Bapak Bupati Soppeng agar mereka dapat menghindarkan diri dari perbuatan tercela (korupsi, malas, dan lain-lain yang dapat merusak citra diri masing-masing).   Salamakki topada salama.

=======

* Tulisan ini pernah dimuat salah satu majalah di Soppeng dengan judul "Memaknai Surat Edaran BUpati Soppeng Dalam Tradisi Memakai Songkok Adat.

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer