TRADISI PEMAKAIAN SONGKOK ADAT (SONGKOK RECCA)*
Oleh : H. Andi Ahmad Saransi
Kebudayaan
merupakan sebuah identitas dari setiap kelompok manusia. Dimana kelompok
manusia memiliki ciri khas kebudayaannya masing-masing. Kebudayaan timbul dari kebiasaan
yang dilakukan oleh dan akan menjadi sebuah tradisi apabila kebudaayaan
tersebut telah ada serta dilestarikan oleh generasi berikutnya. Dengan kata
lain kebudayaan tersebut merupakan turunan dari kebiasaan yang dilakukan oleh
nenek moyang terdahulu dan sekarang masih dilaksanakan kebiasaan-kebiasaan
tersebut. Setiap kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari
makna atau nilai-nilai dalam sebuah simbol yang ada pada sebuah kebudayaan.
Dari setiap makna tersebut sangat mempengaruhi tingkah laku dari pemiliki
kebiasaan itu..
Manusia
sebagai makhluk simbolik, karena kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari
simbol-simbol dan simbol ini akan mengandung berbagai makna tergantung pada
persepsi setiap orang, sebab manusia tidak bertindak terhadap sesuatu melainkan
berdasarkan makna yang dapat diinterpretasikannya. Dengan demikian fungsi dari
simbol terletak pada seseorang yang bersangkutan, seperti mengantongi potongan
daun lontar bagi orang Bugis yang meyakini bahwa sangat ampuh untuk melindungi
dari perbuatan-perbuatan jahat. Oleh sebab itu simbol tidaklah berdiri atau ada
dengan sendirinya, simbol diciptakan dengan mempunyai tujuan yang hendak di
informasikan kepada orang yang melihat simbol itu sendiri.
.
Sehubungan dengan hal
tersebut perlu kita mencari makna
mengenai kewajiban memakai songkok adat bagi setiap PNS/Honorer/PHTL (Pria)
lingkup Pemkap Soppeng dan karyawan BUMD saat melaksanakan tugas pada setiap
hari kamis tanpa muatan eselonisasi
sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Bapak Bupati Soppeng Nomor
39/BKPSDM/2019 tanggal 16 Januari 2019
Songkok
Adat (songkok recca)
Semula songkok adat ini memiliki tiga sebutan berbeda yang
merujuk pada proses pembuatan, bahan, atau pun nilai historis. Pertama, penamaan
Songkok Recca biasanya merujuk pada proses pembuatan atau bahan baku yang
digunakan untuk membuat songkok tersebut. Dimana bahan yang digunakan terbuat
dari pelepah daun lontar yang ditumbuk dalam istilah bugis hal tersebut
dinamakan direcca; Penamaan Songkok Pamiring merujuk pada ujung
atau sisi bagian bawah songkok yang berhias warna keemasan. Apabila bagian
bawah berhias benang emas, maka sebutannya Songkok Pamiring, namun apabila
menggunakan emas sungguhan, maka sebutannya Songkok
Pamiring Ulaweng (songkok berpinggir emas); Penamaan terakhir yaitu Songkok
To Bone, biasanya merujuk kepada penamaan yang banyak diucapkan oleh orang-orang
luar Bone, Sulawesi Selatan. Hal ini terkait dengan sejarah pembuat atau pun
pemakai songkok itu sendiri adalah orang-orang Bone.
Kapankah songkok adat ini
mulai diciptakan? Salah satu pijakan awal yang bisa
dijadikan dasar adalah pada periode pemerintahan We Fatimah Banri raja Bone ke
30 (1871 – 1895). Disebutkan dalam catatan sejarah bahwa pada masa pemerintahan
beliau terjadi perang di Toraja antara pedagang kopi dari aliansi Sidenreng - Sawitto
dengan aliansi pedagang kopi dari Luwu - Bone. Perang ini terkenal dengan nama
perang kopi (1889 – 1890). Karena aliansi pedagang kopi dari Luwu - Bone sudah terdesak dari aliansi pedagang kopi
Sidenreng - Sawitto maka dalam perang kopi tersebut datanglah ke Tana Toraja pasukang
kerajaan Bone yang dipimpin langsung oleh panglima perangnya yang bernama Petta Ponggawae La Pawowowi (saudara
kandung We Fatima Banri) untuk membantu Pedagang-pedagang dan tentaranya yg
sudah mendapat tekanan.
Kedatangan pasukan
Petta Ponggawae ke Tana Toraja itu terkenal dalam sejarah Toraja dengan
masuknya Songko’ Barrong (Topi merah)
karena semuanya memakai topi merah. Pemakaian songkok ini memiliki muatan religus untuk menangkal roh-roh jahat yang dapat
mengganggu pasukan kerajaan Bone pada saat itu. Mengenai bentuk topi merah itu
dan bagaimana bahannya tidak diperoleh informasi. Namun nanti kelihatan bentuk
dan bahannya pada tahun 1905 sebagaimana
songkok adat yang dipakai oleh raja Bone ke-31 La Pawawoi Karaeng Sigeri (1895
– 1905). Dimana bentuknya tidak terlalu tinggi dan tengahnya berbentuk lancip
(mirip songkok Turki). Sedangkan benang
emas yang dipergunakan kelihatannya tidak terlalu tebal /tinggi.
Seiring dengan
perkembangnnya, pada masa pemerintahan
Raja Bone ke 32 Andi Mappanyukki (1931 – 1946) terjadi perubahan yang sangat
mendasar, perubahan itu dapat dilihat, dari segi ukurannya sudah berubah
menjadi agak tinggi begitupun juga benang emasnya. Sedangkan bagian tengahnya mengalami pula perubahan, semula
bentuknya lancip sekarang menjadi rata. Sedangkan pemakainya tidak terbatas lagi pada suku dan
daerah tertentu saja tetapi sudah dijadikan
simbol songkok adat di Sulawesi Selatan Tenggara walaupun namanya berbeda-beda. Seperti dikalangan kalangan bangsawan Mandar
songkok ini dikenal dengan nama songkok
biring begitupun bagi kalangan bangsawan Makassar dikenal dengan nama Songkok Guru bahkan kesultanan Buton
memakainya pula sebagai songkok adat.
Aturan Pemakaiannya
Mengenai aturan pemakaian songkok recca ini, untuk bangsawan tinggi – maddara takku – (berdarah biru), anak mattola, atau arung matasa; dapat menggunakan songkok recca yang seluruhnya terbuat dari emas murni (ulaweng bubbu); bagi bangsawan lainnya diperkenangkan memakai songkok recca dengan lebar emasnya tiga perempat dari tinggi songkok recca tersebut. Bagi Arung Matola Menre, anakarung manrapi, anakarung sipue dapat memakai songkok recca dengan lebar emasnya seperempat dari itnggi songkok recca.
Sementara Arung Lili yang
bernaung dibawah panji kerajaan Tellu Bocco (Bone, Luwu dan Gowa), baik lili
passiajingeng maupun lili riala bessi dapat memakai songkok recca perak.
Songkok ini sama dengan songkok recca di atas, hanya hiasan yang ada disana
bukan dari emas, melainkan perak, dan seperti pemakaian songkok recca
berhiaskan emas dan tinggi rendahnya hiasan emasnya sesuai dengan derajat Arung
Lili yang bersangkutan.
Sedangkan golongan tau
deceng, tau maradeka, dan tau sama dapat memakai songkok recca dengan pinggiran
emas, sedangkan golongan ata sama sekali tidak diperkenankan memakai songkok
pamiring. Persolan
aturan pemakaiannya mungkin gampang-gampang susah diterapkan dewasa ini, karena
sudah banyak dijual songkok adat yang hiasannya emas palsu.
Makna
Memaknai
tradisi pemakaian songkok adat (songkok recca)
secara tersurat bermakna sebagai bentuk pelestarian dalam rangka menjadikan
Soppeng sebagai benteng budaya. Disamping itu, secara tersirat pula bermakna
nilai religius, nilai adat serta nilai kemasyarakatan. Simbol yang ada pada
songkok adat (songok recca) yakni daun lontar sebagai symbol religius, benang logam mulia berwarna kuning (emas)
atau putih (perak) sebagai simbol status sosial.
Mengakhiri tulisan ini,
menarik untuk disimak mengenai pesan
Raja Bone La Pawawoi Karaeng Sigeri kepada
pasukannya ketika akan diasingkan ke Jawa, “niga-niga
natoppoi songko’ (recca) naninirini gau salaé sibawa pappésangkana Alla Taala”.
(barangsiapa memakai songkok (recca) mereka senantiasa menghidarkan diri dari
perbuatan tercela begitupun larangan Allah Subhana Wataala). Sepadan dengan
itu, dapat disimpulkan pula bahwa sesungguhnya makna terdalam dari hadirnya
Surat Edaran Bapak Bupati Soppeng agar mereka dapat menghindarkan diri dari
perbuatan tercela (korupsi, malas, dan lain-lain yang dapat merusak citra diri
masing-masing). Salamakki topada
salama.
=======
* Tulisan ini pernah dimuat salah satu majalah di Soppeng dengan judul "Memaknai Surat Edaran BUpati Soppeng Dalam Tradisi Memakai Songkok Adat.
Mencerahkan pung
BalasHapusTerima kasih Ndik atas atensinya
Hapus